25.9.16

Pulang, Sumedang

Neng, pami ningal berita urug dina Tipi, omat kedah tenang, ibu sadayana aman nuju di Ponyo.” (1)
Neng yang mengangkat teleponnya pada 21 September dini hari itu dalam keadaan setengah tidur masih bingung mendengar ibunya berbicara di seberang sana. Suara ibunya terdengar panik, latar belakang suara masih ribut, samar ada suara hujan dan mobil serta suara laki-laki berteriak dengan menggunakan pengeras suara merek Toa. Rumah Neng jauh dari jalan raya. Jadi bagaimana maksudnya? Di Ponyo bagaimana maksudnya?
Kumaha bu?” (2)
Longsor Neng di Ciherang, seueurna mah Singkup bahkan Cimareme mah aya nu maot sagala. Tapi urang mah teu keuna da, aya sababaraha bumi tapi urang mah teu keuna. Ieu sadayana warga Ciherang nuju di Ponyo. Pangneleponkeun the Pipi nya piwarang jemput ibu..(3)
Neng diam. Ini betulan? Bukan mimpi?


***
Jalur Bandung-Sumedang lumpuh total menyusul longsor yang menimbun jalan nasional di gerbang masuk kawasan Cadas Pangeran, Singkup, Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, Selasa (20/9/2016).
Longsor terjadi Selasa (20/9/2016) malam saat hujan mengguyur sejak pukul 18.00 WIB.
Hanya tiga berita di media internet dini hari itu. Neng yang paginya masuk kantor seperti biasa masih was was. Hari itu ia tidak berada di Sumedang. Sudah hampir tiga tahun ini ia merantau di Palembang. Mendengar kabar semalam, dengan jalur Bandung – Sumedang yang sulit dilewati, Neng belum bisa memutuskan untuk pulang ke Sumedang. Ya betul 'kan, bagaimana caranya pulang? Untungnya keluarga semua sudah aman. Semalam, sekitar pukul 02.00 dini hari, teh Pipi, kakak iparnya berhasil dihubungi. Namun karena petugas menginstruksikan semua korban agar ikut ke tempat pengungsian utama yang berada di GOR Tadjimalela Sumedang, akhirnya teh Pipi baru bisa menjemput Ibu, Bapak, Nenek, Ajang, serta Uwak pagi-paginya. Saat pagi dihubungi, rumah mereka tidak terkena longsor seperti yang lainnya. Hanya saja, karena daerahnya memang di perbukitan dan beberapa rumah di sisi kiri dan kanan rumah mereka mengalami timbunan longsor yang cukup parah, maka semua penghuni desa harus dievakuasi.
“Gimana keluarga kamu? Parahkah?”
Puluhan pertanyaan itu menghampiri Neng baik secara langsung maupun melalui sosial medianya siang itu. Neng pun harus menjelaskannya lagi dan lagi secara berulang-ulang. Sialnya, semua berita begitu simpang siur entah yang mana yang benar. Foto di internet kadang tidak akurat. Mungkin masih ada oknum wartawan yang malas yang asal comot foto, sehingga foto pelengkap berita hanyalah menjadi ilustrasi belaka tanpa penjelasan di bawahnya. Seharusnya mereka berpikir bagaimana perasaan keluarga korban yang berada jauh dari tempat kejadian saat melihat foto atau membaca berita yang tidak valid tersebut? Ketahuilah, saat-saat seperti ini, menghubungi keluarga sangat sulit saking repotnya urusan di sana.

Dalam kekalutan itu, Neng terus memantau perkembangan terbaru. Apalagi siangnya diberitakan bahwa kejadian yang lebih parah juga terjadi di Garut! Garut bahkan Banjir Bandang. Belasan orang dikabarkan hilang dan meninggal. Neng hanya bisa beristighfar dan berhamdalah. Allah masih menyelamatkan ia juga keluarganya.

Foto oleh @saefurochman11.
Melalui sosial media juga, untungnya sebagian berita dapat terkonfirmasi. Namun semuanya tetap mengejutkan. Bagaimana rumah yang dulu kokoh saat ini rata dengan tanah. Tertimbun longsoran tanah perbukitan yang ternyata sudah lama tergerus akibat kenakalan manusia juga. Jangan lupa, ada jalan tol baru nun di atas bukit tersebut. Entahlah, ada orang bilang perencanaan pembangunan kadang tidak memperhatikan aspek lain seperti, jika ada mata air, akan dibendung ke mana? Hal-hal yang seharusnya menjadi perhatian namun sering terlupakan.

Keesokan harinya, sebuah pesan menghampiri kotak masuk Neng.
“Teh, kita kayaknya bakalan direlokasi semua.”
Neng tertegun. Ajang, adiknya memang yang selalu mengabari setiap kabar terbaru karena ibu bapak begitu sibuknya.
“Hah? Terus kita tinggal dimana?”
“Gatau, teh”.
Sekali lagi, sulit menghubungi kedua orang tua yang sama-sama sibuk mengurus warga yang kehilangan. Akhirnya Neng memutuskan untuk pulang ke Sumedang. Tidak tahu jalannya sudah lancar atau belum. Yang penting pulang.

***
“Alhamdulillah, jam berapa tadi ti Palembang?”
Sesampainya di rumah teteh malam itu, Neng diberondong pertanyaan khas orang tua menyambut kepulangan sang anak. Sambil menjawab, pikiran Neng berkeliaran ke mana-mana. Sedih rasanya. Di ruangan itu semua berbaring seperti di tenda. Tidak terlalu buruk mengingat mereka tidak ikut di pengungsian umum tapi ditampung di rumah sanak famili yang baik hati. Saat tadi melewati daerah Ciherang, semua gelap gulita. Desa yang selalu ramai hingar bingar para pemuda ataupun orang yang beraktivitas berdagang di pinggir-pinggir jalan raya, semuanya lenyap. Semuanya mengungsi.

Malam itu neng lelah, tapi tidak bisa tidur. Keadaan ini terlalu aneh.

***

Neng memandang puing-puing rumah dan batu yang berserakan di pinggir jalan pagi itu. Karena sore selalu hujan besar, maka waktu teraman untuk meninjau keadaan rumah adalah pagi sampai siang. Tanah lumpur masih berserakan. Air masih mengalir entah dari mana. Dari puncak bukit yang jelas, tapi tidak tau dari sungai mana atau mata air apa. Penyebab longsor ini bukan hanya hutan gundul. Tapi kecerobohan tata kelola pembangunan. Bagaimana bisa ada sebuah ceruk di puncak bukit, yang setiap hari terisi air saat hujan dan tidak diapa-apakan sampai sekarang?

Memang bukan saatnya saling menyalahkan, akan tetapi ini menjadi perhatian dan pelajaran bagi yang lain. Hutan tidak boleh gundul. Dan pembangunan tidak boleh serampangan.
Suasana di Pengungsian.
Ada beberapa bagian tanah yang terbelah. Yang tertinggal jadinya hanya tebing tinggi yang curam bertanah merah. Sulit mengingat bahwa di situ sebelumnya ada beberapa rumah warga yang kokoh, bahkan ada yang dua lantai.

Semua rumah sudah ditinggal penghuninya ke pengungsian. Hanya ada satu - dua orang yang secara sukarela berpatroli di sekitar situ mengingat saat seperti itu sangat rawan ada penjarah atau pemulung gadungan yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Oleh karena itu, desa itu terlihat seperti desa mati. Sepi. Bahkan memasuki rumah sendiri pun merinding.

Bubi, kucing Neng lari menyambut saat Neng dan Ibu masuk rumah. Untungnya mereka tidak pernah lupa memberi makan Bubi. Walaupun frekuensinya berkurang, Bubi masih sehat dan berisik seperti biasanya. Hanya saja ia tampak kurusan. Tidak hanya Bubi sih, sebenarnya banyak sekali hewan peliharaan yang ditinggal pemiliknya, sebuah hal yang sering terlupakan pada recovery bencana di manapun.

***
“Tuh salim ka uwak, teteh!” (4)
Teh Elis menyuruh anaknya yang juga keponakan Neng untuk salam. Seperti biasa, anak kecil kadang tidak mau salaman. Mungkin sudah lupa. Neng jarang pulang. Teh Elis adalah sepupunya Neng. Seperti Neng dan keluarganya, ia pun hanya datang di siang hari ke tempat pengungsian untuk memeriksa keadaan dan menengok sanak saudara yang di sana. Orang desa itu hampir semuanya saling mengenal, dan seringkali, hampir semuanya masih bertalian saudara.
“Ibuu!”
Bi Euis, sepupunya Bapak, tiba-tiba merangkul Ibu sambal bercucuran air mata. Keduanya bertangisan. Bi Euis bercerita tentang Bi Tintin. Bi Tintin masih sepupu Bapak juga. Bi Tintin adalah korban yang benar-benar kehilangan rumahnya. Semua pakaian, uang, warung, bahkan kewan ternak, tertimbun longsor hingga tak ada yang tersisa kecuali pakaian yang melekat di badan!

Sedih rasanya melihat beliau, karena baru beberapa bulan yang lalu beliau baru tertimpa kecelakaan motor yang menyebabkan kepalanya kena gegar otak. Baru saja sembuh, eh rumahnya kena longsor hingga ludes. Sungguh bukan ujian yang ringan untuk ukuran manusia kebanyakan. Makanya, kabarnya pas awal-awal itu beliau sempat berkali-kali pingsan. Tapi saat ini beliau sudah tegar dan tersenyum lagi. Perempuan yang hebat.
“Muhun ibu seep sadayana, ieu kerudung ge pamasihan hiji-hijina,” (5)
Begitu Bi Tintin bilang. Sulit bagi Neng membendung air mata saat itu. Tapi ada pepatah mengatakan, kalau mau menguatkan orang, pertama-tama kamu harus kuat. Jadi Neng pura-pura kuat dan mengangguk-angguk sambal ngobrol hal lain. Nek Umin, adiknya nenek Neng, juga terisak tangis saat itu. Memang, longsor terparah adalah di area Rukun Tetangga tempat Bi Tintin dan Nek Umin sekeluarga tinggal.
Jumlah penghuni Pengungsian.
Yang paling parah Nek Uun. Rumah beliau yang tingkat dua, ditinggali bersama anak-anaknya, ambruk sampai ke jalan raya. Tertimpa longsoran yang paling parah. Sama. Beliau tak ada baju lain namun beliau selalu tertawa. Semua memang mengenal beliau sebagai Nenek yang lucu dan jenaka.

Lalu diceritakan oleh orang-orang itu, semua tidak selalu mulus di tempat pengungsian. Memang, sangat luar biasa animo masyarakat Sumedang dan sekitarnya (Bandung, bahkan Jakarta) menanggapi keadaan ini. Maksudnya, sumbangan melimpah tanpa henti bahkan kadang berlebihan. SUbhanallah, tidak ada kekurangan apapun karena para warga yang baik hati menjadi donatur maupun menjadi relawan sangat banyak. Namun lucunya, beberapa oknum malah menjadikan momen itu sebagai aji mumpung. Mungkin di situ letak ujian ke dua. Rahmat Allah tidak pernah putus, bagaimana caranya bersyukur dengan rizki yang begitu banyaknya?
Anak-anak tetap bermain dengan para relawan di tempat pengungsian.
Bapak dan Ibu begitu sibuk di sana. Bapak membantu tim logistik membagi-bagikan konsumsi, Ibu bak ketua Ibu-ibu di sana yang menampung segala keluhan dan ikut menguatkan. Bahkan saat ada ibu-ibu berebut detergen dan sabun colek, Ibu Neng bantu menyelesaikan dengan santai dan mereka tidak jadi berantem, malah akhirnya tertawa bersama. Neng terharu punya orang tua yang baik.

***
Sore itu, Neng kembali tepekur. Jawaban yang Neng cari belum ketemu. Jawaban yang membuat Neng pulang ke Sumedang tiba-tiba. Jawaban atas pertanyaan "ke mana" dan "kapan".
"Pak, kintenna iraha tiasa aruih deui ka lembur?" (6)
"Pak, ciosna relokasi atanapi tiasa uih deui?" (7)
Belum ada yang bisa menjawab. Mungkin nanti. Neng mungkin sudah di Palembang seandainya itu akhirnya terjawab.

Teringat wajah sendu Bi Tintin yang berpura-pura kuat, tawa Nek Uun yang seolah menganggap semuanya ringan, bahkan tangis Bi Euis waktu itu. Mereka pasti lebih terluka.

Lalu Neng memutuskan, Ia pun harus kuat. Mereka bukan mangsa media, apalagi oknum pencari tim sukses dari partai politik. Pertanyaan itu tidak harus dijawab oleh mereka. Apa pun dan kapan pun jawabannya nanti datang, semoga yang terbaik.

Sumedang, 25 September 2016.

*********

(1) Neng, kalau liat berita longsor di TV, harus tenang, ibu dan semuanya aman lagi di Ponyo.
(2) Gimana bu?
(3) Longsor Neng di Ciherang, kebanyakan sih di Singkup bahkan Cimareme ada yang meninggal segala. Tapi kita gak kena kok, ada beberapa rumah tapi kita gak kena. Ini semua warga Ciherang lagi di Ponyo. Tolong telepon teh Pipi supaya jemput Ibu.
(4) Tuh salam ke Uwak, teteh!
(5) Iya bu, habis semuanya, ini kerudung aja boleh dikasih satu-satunya.
(6) Pak, kira-kira kapan bisa pulang lagi ke desa?
(7) Pak, jadinya bakalan relokasi atau bisa pulang lagi?

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!