29.2.24

Refleksi Singkat di Tahun Kabisat (Mumpung Sempat)

Tidak ada tema khusus hari ini selain karena tanggal 29 Februari tidak terjadi setiap tahun. Tapi, serius deh. Memang, sejak rutinitas saya berkutat seputar per-stay-at-home-mother-an untuk dua balita laki-laki ini, rasanya energi sudah habis di pengujung hari, kalau mesti nulis yang sulit-sulit. Hingga kalau ada waktu kosong ya minimal scroll instagram gitu. Cek-cek reels viral yang bikin FOMO. Atau, nonton drakor. Sesuatu yang amat jarang dilakukan, namun kalau sudah kecebur suka sulit dihentikan. Makanya terakhir saya ngedrakor itu mungkin pas The Glory tayang (September 2023?). Setelahnya malas berkomitmen dengan drakor apapun.



Anyway, ibarat serial, saat ini arc cerita hidup saya sedang berada di area SAHM dan Anbuhood. Jadi punten nih, mungkin kali ini saya akan cerita tentang itu lagi itu lagi.


Kali ini, tentang “kesempatan”. Bukan sembarang kesempatan. Melainkan tentang ruang untuk bisa belajar dan berkembang.


Begini ceritanya. Sekitar dua pekan lalu, saya mendaftar untuk menjadi peserta dalam sebuah lokakarya yang materinya sangat relevan dan saya idamkan sejak lama. Kegiatannya berbayar. Namun diadakan di hari kerja setiap hari Rabu selama tiga pekan. Malangnya, ternyata saya tidak dapat menghadiri ketiganya. Di sesi pertama, saya berusaha hadir dengan membawa serta seluruh keluarga (suami, dua anak). Bahkan suami sampai cuti karena hari itu kami juga memang ada keperluan lain sebelum lokakarya dilangsungkan. Ternyata, sampai di sana, kegiatannya terlambat diselenggarakan karena peserta belum datang semua (alasan yang konyol sekali, ya?). Kami jadi harus menunggu selama 15-30 menit. Sementara Ryu mulai tidak kondusif. Rupanya ia ngantuk. Hujan besar. Kami terjebak di sana selama beberapa saat. Tidak bisa ngapa-ngapain juga karena tempatnya memang bukan tempat “bermain” anak.


Dalam keadaan itu, saya melihat para peserta lokakarya yang lain yang banyak di antaranya kemungkinan ibu-ibu yang punya anak. Rapi. Datang sendiri. Tidak merepotkan siapa-siapa. Juga tidak bergantung pada keberadaan area ramah anak di tempat lokakarya. Setelah dicek dalam daftar hadir peserta, mereka masing-masing berasal dari sekolah atau instansi tertentu. Sementara kolom “asal instansi” saya kosong karena…


Saya seorang IRT.



Seraya menatap nanar pada Ryu yang masih rewel, saya mengajak suami dan Raka pulang. Tak tega jika saya harus ikut lokakarya selama 2 jam dan suami harus direpotkan dengan 2 balita dalam situasi yang tidak kondusif. Terlebih, sudah pasti saya akan kepikiran anak-anak. Tidak mungkin belajar dalam keadaan seperti itu, pikir saya.


Kami bertolak kembali ke rumah. Diam-diam saya menangis sambil menepuk-nepuk Ryu & Raka yang tertidur di kursinya. Hingga ketiduran sejenak.


Beberapa hari setelahnya, suasana hati saya belum juga membaik. Saya tahu, keputusan menjadi IRT bukanlah sesuatu yang dipaksakan dalam hidup saya. Kami memilihnya secara sadar (usia, biaya, berkah). Tapi tetap saja. Ketika disodorkan pada kenyataan yang merupakan risikonya, mau ‘gak mau jadi mikir, kalau milih yang lain, akan bagaimana ya hasilnya? Karena jujur saja. Kesempatan mengenyam ilmu baru adalah hal yang menyenangkan buat saya. Lebih jauhnya? Inilah “me time” yang sesungguhnya. Jauh dari segala rasa glamor tapi mewah sekali saat kesempatannya tidak datang banyak-banyak.


Konon inilah yang disebut “yuwaswisu”. Bisikan musuh kita semua. Berandai-andai, berujung su’udzon pada ketetapan-Nya.


Astagfirulloh.


Kemudian semua terbayar saat beberapa hari lalu, saya punya kesempatan lain untuk mengikuti gelar wicara dengan tema yang saya amat tunggu. Durasinya lebih lama. Namun diadakan di hari Sabtu dan kami punya persiapan yang lebih longgar. Setelah menyiapkan kebutuhan anak-anak, saya berangkat ke tempat tersebut lebih dulu menggunakan ojek online. Suami dan Bapak saya, menyusul mendekati jam selesainya acara saya. Iya. Gak salah baca. Suami dan Bapak saya. Berdua menjaga dua anak laki-laki saya yang masih balita. (Bukan main, ya? Kalau di zaman dulu, saya sudah dicap wanita macam apakah). 


Alhamdulillah, saya mendapatkan ganti yang menurut saya JAUH lebih baik dibanding 3 sesi yang terpaksa saya batalkan sebelumnya. Ada orang-orang hebat yang saya kagumi dan bisa saya cicipi keilmuannya. Selama 3,5 jam itu, saya berbinar-binar. Berusaha aktif bertanya. Mengikuti gelar wicara dengan sungguh-sungguh karena ini adalah waktu yang mahal. Amat sayang untuk dilewatkan dengan leha-leha padahal kesempatannya ada.


Menjelang berakhirnya acara, Raka datang mengejutkan saya dengan berlari memeluk sambil tertawa lebar memanggil nama saya. Saya kaget sekaligus terharu. Disusul Ryu yang memanggil saya sambil menangis minta digendong (hi-hi). Saya menyambut mereka berdua dengan syukur yang amat besar. Di belakangnya, suami dan Bapak tersenyum lega. Saya seperti menjadi orang yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya - dalam konotasi positif. Saya balas tersenyum lebar.


Alhamdulillah telah dikelilingi orang-orang baik.


Jadi.. my fellow IRT, WFH Mom, atau apapun istilahnya, bahkan siapapun yang merasa sedang merasa tidak dihinggapi kesempatan karena keadaan.. ini klise sih, tapi sabar! Tugas kita adalah ikhtiar dan bersiap. Siapa tau, kesempatan-kesempatan lain akan datang di saat tak terduga. Jika tiba saatnya, genggam erat jangan sampai lepas. Waktu adalah pedang, kata Imam Syafi’i. Jangan sampai ia menebasmu padahal kau sedang tidak pegang perisai.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!