Tersentil tulisannya Tere Liye di FB beberapa hari lalu, saya jadi ikut-ikutan ingin menyoal tentang drama per-norak-an ini. Ya. Beberapa hari lalu telah dilangsungkan uji coba MRT (Ratangga) di Jakarta. Kabarnya, sampai 31 Maret ini, dia masih gratis. Saya? Saya mah anak Bekasi. Pan-kapan aja nyobanya. Membayangkan penuh sesaknya, belum lagi drama rebutan kursinya, saja sudah bikin ogah. Tidak. Saya kurang suka konflik-konflik di tempat umum seperti itu.
Nah, balik lagi ke soal tadi. Karena masih gratis, maka berduyun-duyunlah masyarakat jabodetabek (dan luar kota) yang penasaran. Mereka datang untuk ikut mencoba “wahana” yang satu ini. Siapa saja masyarakat ini? Banyak! Tidak hanya milenial kelas pekerja saja. Atau influencer yang ingin eksis. Atau sosialita yang curi-curi kesempatan nampang dengan pejabat yang datangnya hanya sekali itu. Tetapi juga anak-anak dan emak-emak. Yang, anggaplah, belum pernah naik MRT sama sekali. Norak, katanya.
Illustration by me. |
(Hmm sebenarnya sebagian besar kita juga belum pernah, ‘kan? Iya memang ada di Malaysia. Atau Singapura. Tapi yang pernah ke luar negeri pun banyak yang mengandalkan Grab ke mana-mana. Jadi tidak tahu tentang MRT).
Kemudian beredarlah foto-foto anak dan emak dan bapak yang katanya norak ini. Norak, karena menganggap arena MRT seperti Taman Kota yang bisa dibuat tempat piknik-piknik. Atau buat gelantungan seperti di kandang Bonbin. Norak, karena mereka membuang sampah tidak pada tempatnya. Juga norak-norak lainnya yang aduhai, sesungguhnya sangat tidak bisa ditolerir.