20.3.24

Enggak Apa-apa, Pengalaman

Ada sebuah fakta unik. Saya tidak mengetahui arti dari kalimat itu hingga baru-baru ini. Kalimat ini biasa dilontarkan pada saat seseorang merasa perlu menghibur orang lain yang ditimpa kegagalan atau kekalahan. Seperti tidak juara lomba menggambar, tidak menang lomba cerdas cermat, tidak lulus LPDP, dsb. Saya tidak merasa kalimat itu mempunyai arti tertentu. Oke. Pengalaman. Lalu apa?

Serius. Belakangan, kalimat itu tiba-tiba mengemuka berkat keisengan amygdala saya. Lalu setelah saya menelaah artinya, ternyata ia bermakna lebih dalam dari yang biasanya saya kira (dan abaikan).


Mari kita urai.


Pernah mendengar kiasan bahwa “pengalaman adalah guru terbaik” bukan? Ini ada kaitannya. Biasanya, segala pengalaman, akan dianggap kenangan belaka. Entah manis, entah pahit. Tidak semua akan menempel lekat-lekat di kepala (atau amygdala). Nah, pengalaman yang hadir berkat kegagalan seseorang, punya efek yang spesifik. Ia bisa jadi:

  • batu sandungan, atau
  • batu loncatan

Menjadi batu sandungan ketika kita “kapok” karenanya. Pastinya ada beberapa pengalaman gagal yang membuat kita enggan mencoba lagi. Misalnya karena membahayakan diri. Seperti gagal mengambang di kolam renang. Atau gagal menjaga keseimbangan saat memegang setang sepeda lalu menyebabkan orang yang dibonceng terperosok ke lumpur di sawah. Beberapa orang bisa terpengaruh begitu dalam hingga di kemudian hari tidak mau berenang lagi. Atau memegang setang sepeda lagi.


Namun dapat menjadi batu loncatan pada saat seseorang yang gagal lalu belajar dari pengalamannya. Mengingat kembali, mengevaluasi apa yang salah hingga kegagalan itu menjadi kesimpulan atas apa yang dialami. Lalu mencoba agar tidak membuat kesalahan serupa agar tidak ada kegagalan yang sama. Seperti ujian matematika waktu SMA. Betapapun tidak sukanya, kita perlu lulus supaya bisa melenggang ke tahap selanjutnya. Makanya kita mengingat-ngingat soal apa yang keluar. Lalu berlatih dengan soal-soal yang serupa. Agar tidak gagal lagi saat mengulang ujian.


Kemudian saat akhirnya berhasil, kita jadi mengerti mengapa orang berseloroh “tidak apa kalau gagal, jadikan pengalaman.” Iya. Mereka mungkin sekadar berbasa-basi. Namun kita yang mendengar perlu menganggapnya sebagai amunisi. Agar meratapi kegagalan secukupnya saja. Lalu menjadikannya pengalaman yang berharga (baik ataupun buruk).


Karena di usia saya yang sudah tiga puluhan ini, saya amat setuju bahwa ia benar-benar guru terbaik. Ia memicu kita untuk bergerak lebih baik. Mengambil keputusan bijak. Sumbernya tidak harus kegagalan pribadi. Ada banyak cermim dari berbagai pengalaman orang sekitar lewat buku dan obrolan (atau media sosial). Hmm, ternyata bahan belajar kita bisa banyak sekali.