20.11.21

Berbenah Cara Gemar Rapi

Pada umumnya, cara berbenah yang sudah ada, mempunyai beberapa kelemahan yakni:

  • Hanya menata tanpa mengurangi barang. Tidak ada decluttering.
  • Merapikan hanya agar enak dilihat - tidak ada usaha mengubah pola pikir, gaya hidup maupun kebiasaan.
  • Jikapun ada proses decluttering, pemilahan hanya didasarkan pada pertimbangan suka dengan tidak suka.
  • Tidak selaras dengan alam.
  • Sekadar bersih dan rapi tanpa memperhatikan kebutuhan penghuni rumah (ingat, rumah adalah ruang aktif).
  • Kurang memperhatikan faktor keselamatan dan keamanan.

Ujung-ujungnya. berbenah yang seharusnya menyenangkan dan dilakukan terus-menerus. menjadi sebuah sumber tekanan (stress) dan rumah tetap berantakan tanpa ujung.

Sementara metode Gemar Rapi yang saya ikuti ini mengutamakan pendekatan spiritual yang berupaya mengubah pola pikir sehingga "rapi" bukan hanya menjadi kata sifat. Namun menjadi sesuatu yang disenangi. Termasuk dalam aktivitas berbenahnya.

Ngomong-ngomong, ada DELAPAN pilar metode gemar rapi yang perlu diperhatikan. Di antaranya:

1

Dilakukan oleh Pemilik Barang

Tahu, tidak? Saya termasuk orang yang sangat-sangat memelihara privasi terhadap barang-barang saya. Zaman kecil, hal seperti itu sangat bisa jadi bahan perpecahan antara saya dan adik saya (he-he). Karena adik saya juga jahil banget (waktu itu), saya tidak pernah bisa percaya saat ia masuk ke kamar saya sendirian. Entah meminjam apa, atau menolong mengambilkan barang sekalipun. Soalnya sering sekali ada barang yang ia sembunyikan. Karena saat itu saya sangat berantakan dan sering lupa akan barang-barang yang saya punya, juga tempatnya berada, jadi saya baru akan sadar setelah beberapa pekan - bahkan bulan - kemudian. Itu menyebalkan, sih.

15.11.21

Meruntuhkan Label Tidak Suka Rapi, Mungkinkah?

Saya selalu yakin bahwa di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak suka pada segala sesuatu/keadaan yang rapi. Permasalahannya adalah apakah orang ini mau atau tidak melakukan aktivitas rapi-rapi ini? He-he. Di masa lalu, saat masih sering dinas ke luar kota dan tinggal beberapa hari di sebuah hotel, rasanya kamar hotel nyaman dan menyenangkan karena setiap kita kembali dari luar, ia telah rapi. Tentu saja karena room boy yang budiman telah berjasa merapikannya. Kini setelah berumahtangga ketika masalah rapi-rapi ini menjadi tanggung jawab bersama sekeluarga, kemewahan seperti itu sudah tidak ada lagi. Kita perlu menjadi room boy untuk diri sendiri (kecuali anda Bruce Wayne yang punya "room boy" pribadi bernama Albert). Jika tidak punya kesadaran untuk mengambil alih tugas rapi-rapi, selamanya rumah tidak akan rapi.

Tidak rapi, rasanya tidak menyenangkan.

Pola pikir yang kaku (fixed mindset) tidak diperkenankan muncul di sini. Kita sering sekali mendengar orang-orang memaklumi diri sendiri dengan mengatakan hal-hal semacam:

Ah, aku mah orangnya gini.

Ah, aku 'kan emang gitu.

Ya gimana, 'kan aku orangnya berantakan.

Saya belajar (terutama) dari suami saya sejak menikah bahwa hal-hal semacam itu tidak memberdayakan karena semakin diulang-ulang, ia akan menjadi sebuah label. Menjadi penghalang untuk berkembang. Kita tentu ingat kisah gajah yang dirantai selama bertahun-tahun hingga ia tidak bisa kabur. Tiap kali mencoba kabur, kakinya akan terluka. Kemudian ketika suatu hari rantainya dilepas dari pengikatnya, gajah ini tetap tidak berusaha kabur karena telanjur merasa bahwa kabur akan membuatnya terluka. Kasihan, ya, gajahnya.

31.10.21

Sahabat Sebelas Tahun

Sahabat. Konon hubungan dengan mereka bisa jadi lebih dekat dibanding saudara atau keluarga sendiri. Kita terhubung dengan mereka, bukan karena memang harus atau telanjur (seperti pertalian darah, pernikahan, agama atau organisasi, mungkin?). Kita tidak tiba-tiba melihat orang yang berkilauan dan populer lalu memutuskan menjadi temannya - saya biasanya tidak begini karena mereka membuat saya gugup. Tetapi kejadiannya lebih seperti, like dissolves like. Sesuatu yang bermiripan, entah kenapa sering tarik-menarik begitu saja. Saya menemukan beberapa orang seperti ini di setiap jenjang kehidupan.

Yang mengecewakan, unsur ketertarikan ini kadang tidak bertahan lama. Jika di SMA, kita terhubung oleh kesukaan akan musik-musik Hip Hop atau manga yang dibaca, setelah dewasa dan jarang bersua, hal ini luntur seiring waktu. Padahal waktu itu rasanya kita dekat sekali. Tidak mungkin "bercerai". Kita cerita apa saja. Bahkan rahasia tergelap sekalipun. Menyebalkan jika harus berpisah dengan orang seperti ini, bukan? Suatu hari, saya mencoba berintrospeksi dan mengambil inisiatif. Kita tak boleh begini, pikir saya saat itu. Mungkin saya yang abai. Hingga saya memberanikan diri berkunjung dan bertanya pada salah satunya. Ia berkata,

"Semua orang memang begitu, bukan? Usia tiga puluhan tidak lagi membicarakan semuanya. Tidak juga bertemu semaunya. Masa remaja sudah lewat."

Sejujurnya, saya tidak ingin mendengar jawaban seperti itu. Terlalu menyedihkan untuk dihadapi hati saya yang rapuh. Seperti kenyataan yang terlalu pahit untuk pangkal lidah saya. Hingga saya berusaha menelannya bulat-bulat agar ia melompati bagian itu. 


Lalu saya sadar bahwa saya telah melakukan ini kepada blog saya.

7.8.21

Setelahnya, Jarak Terjauh Adalah Waktu

Hampir setiap malam saat aku terbangun dini hari (atau tengah malam buta, sebenarnya) aku teringat dan khawatir tentang ibu. Sedang apa ibu di sana? Apakah ibu tersenyum? Apakah bahagia? Apakah wajahnya bersinar seperti terakhir kali kami melihatnya? Apakah ibu makan dan minum? Apakah Alloh menampakkan hal-hal yang baik kepadanya?

Ya. Soalnya aku percaya akan adanya kehidupan setelah mati. Di Islam kami menyebutnya alam barzakh (kubur). Dan ketika rindu, aku tentu harus menunggu adanya hari akhirat. Dalam hitungan waktu manusia,  ia terasa sangat jauh. Ada banyak tahapan menuju ke sana. Bahkan hasilnya belum tentu baik. Belum tentu sama untuk semua orang. Kini setelah meninggalnya ibu, aku sangat penasaran apakah kami akan bertemu lagi suatu saat nanti? Aku memang menantikan reuni dengan ibu. Tapi sekali lagi. Tahapannya masih banyak.

21.7.21

Mimpi yang Sangat Panjang

Rasanya sesak, Bu. Tapi Eneng berusaha tidak menghambur-hamburkan air mata lagi.

Ini malam pertama Ibu di rumah baru. Bagaimana di sana, Bu? Eneng harap di sana luas, lapang, terang. Karena Ibu baik sekali. Semua setuju. Eneng juga. Eneng bersaksi seperti itu adanya.

Mengapa saat Ibu di sini, Eneng mengingat perdebatan-perdebatan sengit kita yang hampir setiap hari ada? Kita sama-sama gigih mempertahankan sesuatu yang keluar dari ujung lidah. Tapi Eneng sering terlalu gigih. Padahal hati ibu sering luka karenanya. Mengapa saat Ibu ada, Eneng sering buruk sangka dengan Ibu? Rasanya hati ini dulu rapuh sekali. Peka. Selalu ada rasa ingin menyalahkan. Baik itu tindakan yang Ibu lakukan kemarin. Pekan lalu. Bulan lalu. Tahun lalu. Puluhan tahun lalu.

Memang sekurangajar itu Eneng. Tapi Ibu sabar. Sangat sabar. Rasanya belum ada yang mengenal Eneng sebanyak dan sedalam Ibu. Empati itu baru datang beberapa pekan lalu, Bu. Saat Eneng akhirnya paham mengapa Ibu melakukan ini dan itu. Yang biasanya Eneng kecam dengan kejam. Lupa bahwa ibu dan Eneng terpaut jarak dua puluh enam tahun jauhnya.

Bu. Anakmu ini sekurangajar itu.

Sekarang Eneng masih berusaha tidak nangis. Oh, pipi yang basah di kiri kanan ini? Tidak, Bu. Mungkin ini sisa-sisa siang tadi. Atau Eneng memang tidak sengaja menumpahkan sedikit barusan. Pahit, Bu. Semua hal di sini berisi penuh tentangmu. Rumah ini adalah Ibu. Segalanya tentang Ibu.

Tahu tidak, saat Ibu pergi kemarin. Semua menggemakan takbir di mana-mana. Setengah malam tidak sepi sama sekali. Ibu suka suasana ramai dan hangat, bukan? Alloh Baik Sangat, Bu. Alloh beri itu ke Ibu kemarin. Eneng yakin saat ini pun begitu. 

Terang. Lapang. Hangat.


Bu. Ini hanya mimpi yang terlalu panjang, bukan? Karena rasanya masih seperti itu.

20.7.21

Bu.

Sedu sedan itu belum menguap
Sejumlah luka menganga membawa pengap
Kuangkat lembaran jarik itu sedikit, penuh harap
Namun tak ada gerak atau detak berderap

Sedang jantungku berdegup keras-keras
Bolehkah kubagi beberapa detakan saja?

Dan tengoklah suamimu menggigil pilu
Di ujung kakimu, menahan napas
Ditopang tangannya yang mulai kebas

Takbir lebaran haji masih bergemuruh. Magis
Kabut gelap berpendar menyambut pagi penuh tangis
Orang-orang mulai berdatangan membawa kain putih dan keranda penuh bebungaan
Kubayangkan kita seharusnya solat Id lalu bermaafan
Setelahnya mengusap air mata sambil berpelukan
Sesuatu yang jarang kita lakukan

Aku tidak pingsan, Bu
Hanya sangat pincang

Bu.
Aku rindu

(10 Dzulhijjah 1442 H pukul 00.18)

10.1.21

Let's Read: Bawa Ia Ke Dunia Nyata Bersama Si Kecil

Dewasa ini, kita sudah sering mendengar anak bayi yang "diasuh" gawai sementara orang tuanya pontang-panting menyelesaikan pekerjaan kantoran (yang kini dibawa ke rumah berkat pandemi), atau tugas domestik si perfeksionis dimana masakan di rumah harus terdiri atas empat macam dan semua baju harus tersetrika rapi. Padahal, menikmati gawai sebelum usia mereka dua tahun, sebetulnya tidak disarankan sebagaimana dilansir oleh WHO .




Bagaimana dengan Faruki?

Jujur saja. Faruki sudah nonton TV sejak usianya delapan bulan. Tidak benar-benar menonton, tentunya. TV hanya menyala saja di rumah sebagai suara latar. Supaya kami tidak benar-benar merasa hanya berdua saja saat Appa-nya kerja. Lalu di usianya yang ke lima belas bulan, ia mulai kenal laptop dan Youtube. Bermula dari akal-akalan Anbu supaya ia mau makan. Iya, iya. Memang ini salah. Bermain bersama sudah paling bagus, setuju?

Saat ini saya sedang merasakan pahitnya permisif terhadap gawai - yang walaupun tidak berlebihan, namun tetap terlalu dini - dimana Faruki belum mempunya kosa kata sebanyak anak lain yang seusianya menurut milestones tumbuh kembang. Padahal sejak hamil, kami membacakan buku untuknya. Saat ia masih bayi pun, ia disusui sambil dibacakan buku. Sekarang pun masih ada rutinitas membaca buku setiap harinya. Lalu, kenapa semua rasanya runtuh gara-gara sebongkah gawai saja?