10.8.23

Drama Ibu Rumah Tangga di Era Informatika

Ini yang sering saya katakan dan masih bertahan sampai sekarang: saya tidak pernah merasa cocok menjadi ibu rumah tangga (saja). Hingga kini, saya masih merasa “wajib” untuk punya kehidupan dan peran lain di luar kerumahtanggan. Jika ditanya alasannya, mungkin karena saya sekolah cukup lama (ha-ha), pernah menjadi perempuan pekerja cukup lama, dan ada harapan orangtua yang mengimbau saya untuk berbuat “lebih”.



Sekolah Cukup Lama

Taman kanak-kanak 1 semester, ditambah 11 tahun pendidikan dasar dan lanjutan, serta 4 tahun di strata 1. Di rumah, layaknya para orangtua generasi boomers lainnya, kita para milenial tidak banyak dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Yang kita kerjakan betul-betul minimal, ya ‘gak sih? Cuci baju seragam sekolah, sepatu, dan ngepel lantai sepekan sekali saja sudah cukup.

Masa kecil dan lingkungan yang demikian membuat saya merasa bahwa saya benar-benar tidak dipersiapkan untuk menjadi IRT.

20.7.23

Dua Tahun Setelah Itu

Kaget, deh. Ternyata postingan tahun lalu adalah tentang "Satu Tahun Berpulangnya Ibu". Lalu saya tidak menulis apapun sampai setahun setelahnya. Benar. Sekarang dua tahun setelah ibu pergi. Kini, perasaan sesak itu masih terasa. Agaknya kita memang tidak dapat benar-benar berhenti berkabung untuk kepergian orang yang betul-betul kita sayangi. Terutama ketika memori tentangnya terus berseliweran di benak. Seperti ada hal-hal yang belum selesai. Namun bagaimana menyelesaikannya kini? Saat beliau sudah tak dapat kita ajak komunikasi lagi.


Dalam dua tahun ini, ada beberapa hal yang saya sering pikirkan. Misalnya:

Mengais-ngais Kenangan

Gambaran saat empat hari sebelum Ibu berpulang sulit saya hilangkan dari hati dan kepala. Saat itu saya tidak pernah menyangka bahwa empat hari itu adalah waktu yang betul-betul tersisa untuk saya dapat berbakti secara langsung kepada beliau. Penyesalan berikutnya tentu, kenapa waktu itu saya tidak bermanis-manis? Tidak berusaha lebih?

14.7.22

Hal-hal yang Berubah Setelah Ibu Pindah

 


  1. Tidak ada tempat berbagi kerandoman dan keabsurdan. Misal betapa lucunya kucing gendut berbulu panjang yang kebetulan papasan di jalan. Atau membicarakan betapa anehnya pilihan busana seorang selebriti.
  2. Menghilangnya tempat membanggakan diri. Atau bragging. Dengan orang lain, kesombongan serupa tidak akan didukung ataupun dipuji. Mungkin mereka akan muak. Tidak ikut bangga seperti ibu.
  3. Melihat baju bagus di sebuah toko lalu menyadari betapa mahal - dan kemungkinan tidak pas ukurannya di badan - harganya. Biasanya aku akan langsung berpikir bahwa ibuku bisa menjahitkan sesuai seleraku - dengan ukuran yang selalu pas. Atau dilonggarkan sedikit dengan sengaja.
  4. Tidak mungkin bisa makan masakan rumahan yang enak yang rasanya nyaman seperti masa kecil. Ya gimana. Resepnya ‘kan cuma ibu yang tahu. Takarannya pun akan berbeda jika aku buat sendiri. Masakanku tak pernah lebih baik darinya.
  5. Makan bolu istimewa buatannya. Ibu pernah janji mau berbagi resepnya.
  6. Mengerti tentang makna dari berbagai kata atau kalimat bahasa Sunda yang jarang digunakan. Termasuk istilah babasan dan paribasa.
  7. Membaca puisi-puisi Sunda buatannya. Menjelang pindah, beliau menulis lebih sering. Jiwa melankolisnya menggebu. Selalu sedih tiap kali mengingatnya.
  8. Kehilangan satu orang yang akan selalu berkata “ya” saat kuajak bepergian ke manapun. Tak peduli betapa lelah atau kurang sehatnya ia.
  9. Kritik membangun yang sering disampaikan dengan cara nyelekit. Tapi semua benar pada akhirnya.
  10. Orang yang punya banyak pertanyaan dan tidak ragu belajar hal baru - terutama sosial media. Jika saat ini ibu berusia dua puluhan, mungkin beliau aktif di situ. Kepribadiannya memang sanguinis dan extrovert.
  11. Tidak seperti Raka, Ryu tidak kebagian merasakan eyong-eyong yang diiringi solawat dalam langgam Sunda-nya yang khas.

Dst.
Setahun engkau pergi. Keberadaanmu terasa semakin jauh. Namun kenangannya, aku berjanji, akan tetap lekat di hati cucu-cucumu ini.

28.6.22

(Akhirnya) Ngobrolin Resign

Sebenarnya, saya tuh paling malas kalau harus membicarakan resign. Karena menjadi perempuan karier adalah bagian dari masa lalu saya yang sering ketika disinggung lagi, saya jadi pengen balik ke sana (he-he). Ya gimana. Media sosial menampilkan berbagai sisi berkilauan nan menggiurkan dari teman-teman saya yang masih bertahan di sana. Yang lagi-lagi, bikin saya membayangkan andai saya masih di sana, saya akan jadi seperti apa?

Apakah masih jadi ibu-ibu yang (katanya) passionate dengan karier? Atau ibu-ibu yang menutup diri dari pergaulan kantor karena memang seperti itulah saya? Apakah saya juga masih misuh-misuh memikirkan kompetisi politik kantor yang selalu tidak mampu saya tembus? Apakah anak-anak saya senang dan bahagia bergelimpangan fasilitas mevvah (yang saat ini sederhana namun cukup)? Apakah saya tidak perlu khawatir akan biaya sekolah anak-anak (biar satu circle dengan anak sultan) di masa depan? Apakah anak-anak saya tumbuh baik dalam asuhan nenek & kakeknya? Dan, apakah suami saya ridho?

Apakah Alloh ridho?



Saya tergelitik membahas ini karena memang ada beberapa teman yang bertanya kepada saya, seperti apa rasanya resign. Hanya satu dari tujuh orang itu, yang benar-benar resign pada akhirnya. Jadi saya sangsi, apakah saya benar-benar bisa menjawab dengan baik? Ha-ha. Atau, apakah saya terlihat begitu tidak meyakinkan, sehingga tidak bisa dijadikan contoh penyintas resign? Ya gimana. Saya mah pragmatis, euy. Makanya, disclaimer nih: anda mungkin tidak akan mendapatkan sesuatu yang wow dari tulisan ini. Termasuk gambaran berlebihan tentang bahagianya menjadi IRT, betapa damainya hidup di rumah saja, atau betapa berbunga-bunganya waktu saya bersama keluarga.


Aku ‘gak gitu, Adik-adik.