28.4.20

Seru Adalah Persepsi yang Dapat Diatur (#diamdirumah 2)

seru1/se·ru/ n 1 panggilan (untuk memanggil, menarik perhatian, dan sebagainya); panggilan dengan suara nyaring: “Mat”, -- si Jamin; 2 ujaran yang biasa digunakan dengan penegasan atau intonasi tinggi seperti ketika marah;

(KBBI)

Kalau disuruh menyebutkan apa yang seru, yang dapat dikerjakan di rumah selama pandemi dan PSBB ini, saya jadi balik ke definisi kata "seru" itu sendiri. Yang ternyata artinya antara "panggilan nyaring" atau "ujaran tegas". Luar biasa ya. Dan kalau baca-baca artikel tentang psikologi, ternyata merasa "seru" (excitement) itu berkaitan dengan rasa takut, lho. Namun areanya lebih positif. Pengubahannya pun bersumber dari kepiawaian kita mengubah takut menjadi seru. Dengan pembingkaian ulang (reframing) pola pikir.

Iya. Sumbernya ternyata pola pikir kita juga.


Dalam masa pandemi ini, seperti saya pernah bahas, beberapa orang sudah terlanjur berada di kubu panik. Tentu panik ini apalagi sumbernya kalau bukan: Takut. Takut tertular dengan tidak sengaja, takut tidak cukup bersih, takut kehabisan stok pangan, takut kehabisan ide berkegiatan (di rumah).. dan sebagainya. Yang ternyata segala ketakutan ini dapat diubah menjadi keseruan tersendiri. Takut tertular: Seru rasanya mempersiapkan hal-hal yang dapat mencegah tertular, dan membeli APD (Alat Pelindung Diri) yang lucu-lucu di pasaran. Takut tidak cukup bersih: Seru rasanya meninjau ulang cara mencuci tangan dan membersihkan sudut-sudut rumah - Google punya semuanya. Takut kehabisan ide berkegiatan (di rumah): Seru memikirkan hobi baru yang dapat dikerjakan di rumah; juga bercengkerama dengan keluarga yang jarang kita sapa karena kesibukan bekerja.

27.4.20

Bengkel Diri: Betahin Diri dengan Tholabul 'Ilmi di Romadhon Suci (#diamdirumah 1)

#Diamdirumah, bagi yang sudah terbiasa sekalipun, pasti ada titik jenuhnya ketika hal-hal yang dikerjakan berkutat di situ-situ saja. Jadi IRT apalagi, yang terlihat sangat santai dan rentan bosan dari luar, sebenarnya (menurut saya) adalah pekerjaan paling dinamis sedunia. Tidak selalu, hari-hari kita dapat terprediksi. Bahkan jikapun jam terbang sudah belasan atau puluhan tahun. Namun sedinamis apapun peranan tersebut, kadang kita berpikir yang kita urusi “hanya” hal-hal berbau kerumahtanggaan saja. Saling membahagiakan pasangan, membesarkan dan mendidik anak, atau menjaga agar rumah tetap menyenangkan. Yang mengejutkan, ternyata tanggung jawabnya tidak sederhana karena besar imbasnya bagi kehidupan dunia akhirat.

Salah satu materi di Bengkel Diri Level 1 yakni Manajemen Komunikasi Pasutri. Eye opener banget sih.

Beban banget ‘kan ya? Suami, dalam Islam, memang imam dan pemimpin dalam rumah tangga. Tapi masa, sih, kita jadi tenang dan diam saja. Berharap “semua” dipikul suami? Karena istri sebagai pelaksana &  madrosatul ulaa, juga kebagian tanggung jawab dan peran yang tidak kalah besarnya.

Alhamdulillah. Akhir tahun lalu, saya dikenalkan dengan Bengkel Diri. Sebuah kampus berbasis pengajian daring khusus muslimah, yang digagas dan diasuh oleh Ummu Balqis, seorang ustadzah super inspiring yang awalnya sering kita lihat di Instagram. Di sana, Ummu sering membagikan kesehariannya dalam menekuni bisnis, keluarga, juga mendidik anak-anaknya yang masyaa Alloh bikin berdecak kagum. Dan tidak sekedar berbagi. Yang beliau post di sana sangat Islami walaupun disampaikan dengan gaya yang sangat kekinian. Tentu saya jadi jatuh cinta ketika tahu bahwa beliau juga membagi ilmunya lebih dalam melalui platform sekolah online ini.

26.4.20

Enin Kami, dan Cita-cita Pasca Pandemi (Cerita Corona 7)


إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ 
"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,..."
(QS Al ‘Isro 7).

Ayat ini betul-betul membekas di hati pada saat musibah menimpa keluarga sepekan lalu. Nenek kami, Enin, meninggal dunia. Bukan karena Covid-19 insyaa Alloh. Namun meninggal dunia di situasi ini subhanalloh sekali ujiannya. Saya sebagai cucu yang rasanya paling dekat dengan beliau, tentu mungkin yang paling baper dengan kejadian ini. Bayangkan. Jumlah pelayat dibatasi per kedatangan. Ada petugas RT yang berjaga. Lalu, kadang tanpa kata-kata bela sungkawa apalagi menyemangati, yang berada di luar kota dihimbau untuk tidak datang. Termasuk saya.

..

Sebenarnya Enin sakit parah sejak kami pindah ke Bandung. Lima bulan berada di rumah ibu, setiap hari berinteraksi dengan Enin, sungguh bukan waktu yang sebentar. Apalagi Enin memang sudah ikut tinggal di rumah sejak umur saya dua tahun. Sempat sekamar juga dengan saya sampai  masuk SMP. Ke mana-mana sering diajak.

Hobinya ziarah ke makam ulama. Banyak pengalaman bepergian yang lebih luas dibanding orang seusianya di tempat kami. Dan beliau juga pejuang tangguh. Menjadi orang tua tunggal bagi ibu sejak lahir karena berpisah dengan Aki. Jadi buruh tani, penjahit, apapun asal ibu dan uwa sekolah sampai SMA. Dan itu sudah sangat mewah di desa kami saat itu.

25.4.20

Masked Rider Kuu-ki (Cerita Corona 6)

Pernah baca edaran dari IDAI belum sih? Yang menyoal pentingnya menjauhi Rumah Sakit dan Faskes berpotensi crowded lainnya. Ya apa lagi alasannya kalau bukan karena Covid-19. Kecuali kalau ada keadaan darurat. Hmm bagi ibu-ibu yang pegang anak bayi yang belum “lulus” vaksinasi wajib, pastinya galau sekali ya. Apalagi kalau fasilitas kesehatan (faskes) terdekat adalah rumah sakit. Bukan rumah vaksin. Sekarang sudah mulai diterapkan PSBB juga. Makin terbataslah pergerakan.

Maksud saya, saya masih cukup yakin bahwa RS adalah salah satu tempat yang paling banyak kumannya. Apalagi di ruang tunggu pasien. Harusnya ada sekat gitu ‘gak, sih? Antara yang ada potensi menular dan tidak. Kita juga tidak pernah tahu jangan-jangan di situ ada yang suspect kena Covid-19?



(waspada ya sist, bukan parno ini mah).

Apalagi kalau Faruki ada jadwal kunjungan ke dokter anak. Di ruang tunggu, saya pasti ketar-ketir sendiri (berdua Mr. Darcy sih). Anak-anak yang batuk, pilek, demam segala macam bercampur di satu ruangan. Mereka ‘kan belum paham protokol kesehatan. Belum tahu harus menutup hidung kalau bersin. Atau menutup mulut dengan sikut saat batuk. Atau maskeran. Maka tugas orang tuanya lah yang seharusnya lebih memperhatikan hal ini. Kasihan dong, kalau anak orang lain tertular kuman yang dibawa oleh anak kita hanya karena kita abai menerapkan disiplin dan mendidik anak agar patuh protokol kesehatan?

24.4.20

Social Distancing, Before It Was Cool (Cerita Corona 5)

If you read “me” since a couple years ago, you’d know that I’ve been keeping my distance with society in general. Also since.. I don’t know, after I became Mrs. Darcy perhaps? Hehe. Karena teman-teman kantor saya kebanyakan lelaki. Lama-lama risih juga kalau masih akrab-tak-penting dengan mereka. Walaupun hanya sekedar makan bareng. Kalau ramean sih mending. Atau berbumbu urusan kerjaan. Namun beberapa pengalaman & observasi masih membekas di ingatan hingga salah satu cara surviving marriage yaaa mungkin dengan menerapkan nizhoma ijtima’il fil Islam (tentang ini, sudah saya post di Instagram). Ya karena saya memang Muslim dan well, it’s pretty much social distancing for me. With men in general. Dan jadilah saya sudah beberapa tahun ini sering makan dan ke mana-mana sendirian. Ekstrem kah? Tidak juga.

Lebih ekstrem kalau mikirin akibatnya sih. Dan bukan sekedar karena “terganggu” dengan filem-filem Suara Hati Istri atau the World of the Married (hahah). Melainkan karena terasa lebih menenangkan saja.



Dan saya juga lebih banyak di rumah pasca resign. Sesekali keluar rumah dengan beberapa kesibukan (non pekerjaan). Kadang suntuk. Tapi dasar orang rumahan dan kaum rebahan. Saya baik-baik saja dengan itu. Rasanya saya sudah berlatih social distancing sejak lama. Makanya pas himbauan #dirumahsaja digaungkan, saya mah tidak terlalu merasakan bedanya. Hi-hi.

23.4.20

"Praktikum" di Rumah (Cerita Corona 4)

Mengejutkan, ‘gak sih? Saat dikatakan bahwa cuci tangan adalah jalan paling efektif dan gampang dalam mencegah penularan Covid-19? Saya iya. Walaupun sudah rajin cuci tangan, tetap saja masih terpana betapa bermanfaat dan pentingnya kebiasaan itu sekarang. Karena, ada lho, orang yang tidak gemar cuci tangan sehingga hal ini akan jadi tantangan tersendiri: membentuk kebiasaan baru.

Corona adalah virus berselimut (capsid) lemak. Lemak ini dapat “diusir” dengan mudah melalui air. Dan makin efektif dengan adanya sabun. Prinsipnya adalah “like dissolves like”. Kotoran, virus, dan semacamnya secara umum bersifat lemak dan akan dibawa oleh surfaktan dari sabun sehingga tenggelam bersama air.



Hmm.. kalau sudah dijelaskan begini, jadi masuk akal ya. Karena penularannya memang lewat droplet dari batuk atau bersin penderitanya. Tangan sebagai “jalan” droplet ke “gerbang” masuk virus yakni mulut, hidung atau mata (ini masih debatable) dicuci sementara gerbangnya sendiri ditutup dengan masker. Sementara benda-benda lain yang mungkin kecipratan droplet yang mengandung virus aktif, dibersihkan dengan disinfektan.

Btw cari cairan-cairan kimiawi begitu sekarang susah banget.

22.4.20

Bertetangga, Bantu Mental Tetangga (Cerita Corona 3)

Sejujurnya kadang saya merasa sangat Squid Ward kalau sudah menyangkut urusan bertetangga ini. Hi-hi. Saya yang sejatinya introvert, kadang kekurangan energi saat berbenturan dengan pakem “harus baik-baik sama tetangga”. Hmm.. saya ternyata tidak sendiri. Kemarin mendengarkan podcast yang menceritakan pengalaman seorang introvert yang serumah dengan ekstrovert di masa pandemi ini. Awalnya mereka bahagia-bahagia saja. Karena mereka semua bekerja dan tidak terlalu sering bertemu. Masalah justru muncul saat mereka terkurung di rumah dan mau tidak mau harus berinteraksi. Maksudnya, kebutuhan mereka ‘kan cukup bertentangan ya. Yang introvert butuh waktu menyendiri agar produktif. Sementara yang ekstrovert butuh berbincang, butuh makan bersama, dan bertatap muka lainnya. Ini membuat mereka cukup sering bertengkar.

Akhirnya, si introvert ini memilih jalan yang cukup ekstrem yakni dengan tidak bertemu sama sekali dengan si ekstrovert. Si introvert akan tidur saat ekstrovert bangun dan sebaliknya. FYI, si ekstrovert ini adalah ibunya si introvert.



Miris, ya?

Padahal, saya cukup yakin bahwa menjadi introvert bukanlah label yang melekat kuat dan tidak dapat diadaptasikan dengan berbagai situasi. (Beberapa orang memilih jadi kaum rebahan hanya karena merasa diri introvert). Sehingga, mewarnai kehidupan bertetangga pun sangat bisa diusahakan. Maksud saya, siapa sih, manusia yang introvert-nya separah itu sehingga tidak butuh manusia lainnya sama sekali? Dan, dalam usaha adaptasi dengan lingkungan (dan anjuran Rosululloh) ini, ternyata mempunyai tetangga yang ekstrovert adalah salah satu jalannya.

21.4.20

Memilih Kubu (Cerita Corona 2)

Yang paling rame gara-gara muculnya Covid-19 ini tentu saja.. grup-grup Whatsapp! Ha-ha. Tidak bisa dipungkiri, grup yang awalnya sepi-sepi saja, hanya membahas jokes-jokes (yang kadang) kadaluarsa atau konspirasi politik yang ketinggalan zaman, akhirnya dibombardir cerita tentang Corona. Tak ayal, semua orang yang merasa punya berita baru, buru-buru unjuk tulisan - sebenarnya, pesan terusan semua sih. Saya bukanlah peserta WAG yang aktif-aktif amat. Sehingga dapat mengobservasi trend yang muncul di kanal pesan ramai-ramai itu. Dan saya dapat simpulkan bahwa ada paling tidak tiga kubu dalam menanggapi cerita Corona ini.

Yang pertama adalah orang-orang yang panik. Saya masih ingat sekali. Ketika Covid-19 baru muncul di Wuhan akhir tahun lalu dan merembet ke negara-negara sekitarnya, walaupun di Indonesia belum ada yang kena, teman-teman saya banyak yang sudah mulai nyetok hand sanitizer, masker dan disinfektan. Katanya, barang-barang ini mulai langka. Tentu kelangkaan ini disebabkan oleh meningkat tajamnya permintaan pasar terhadap benda-benda tersebut. Saya dengar malah ada yang nimbun terus jual dengan harga se-Pluto segala (karena lebih tinggi dari Langit). Di sinilah kita jadi tahu, level humanity orang ada di mana? Menyelamatkan diri sendiri, tapi tidak peduli apa orang lain kebagian atau tidak. Huft.




Lalu iseng, saya cek ke Betamart* terdekat. Hmm. Di sini hand sanitizer masih ada banyak. Harga masih normal. Masker? Saya jarang keluar rumah dan memang sudah punya masker kain yang bisa dicuci ulang. Dulu sering pakai untuk keluar rumah pas naik Ojol. Disinfektan? Ah buat apaan. Pikir saya. Dan Covid-19 memang masih berputar-putar di negara lain. Belum terdengar di Indonesia. Sehingga sayapun saat itu masih berada di kubu kedua.


20.4.20

Diselimuti Corona (Cerita Corona 1)

Sampai detik ini saya masih berharap bahwa Corona, sesuai definisi yang biasa saya tahu, adalah bagian dari matahari. Ia berada di lapisan atmosfer terluar serupa selimut bagi matahari. Kini, bersamaan dengan bergesernya makna corona yang kita tahu, ia tidak hanya sangat berbahaya, akan tetapi ia telah menyelimuti bumi. Membuat manusia-manusia menjadi sakit. Menular dan menjalar sangat cepat. Dan dikenal juga dengan nama Covid-19.

Add caption

“Hidup segan, mati tak mau”. Mungkin inilah istilah yang tepat untuk merujuk sifat virus secara umum. Karena, tanpa sel inang yang diserangnya, dengan perangkat hidup seadanya itu, dia akan dorman dan tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali kecuali adanya asam nukleat sebagai identitas genetiknya. Jika memahami konsep benalu misalnya, yaa kita tidak dapat menyalahkan sifat makhluk yang seperti ini. Memang begitulah sunatulloh-nya, begitulah cara mereka hidup. Dengan menumpang pada yang hidup dan akhirnya si inang ini memunculkan gejala penolakan berupa penyakit. Dalam hal Covid-19 ini, sesak nafas, batuk yang tak kunjung reda, dan lain-lain.

(Btw konsep “menumpang hidup” ini mirip seperti konsep virus dong, hi-hi).