“Ibu sedang sakit keras. Saat ini dalam masa pengobatan. Mohon maaf tidak dapat membalas WA. Mohon do’anya agar beliau lekas sembuh.”
Demikian Status Whatsapp Ibu, 19 Juli 2021 pada Pukul 21.00 WIB. Ditulis oleh Eneng yang saat itu sedang di rumah Ibu, berdua saja dengan Aka anak laki-lakinya yang baru berusia 2 tahun.
Eneng mengetiknya sambil berurai air mata. Segera setelahnya, Eneng mengajak Aka untuk segera tidur di kamarnya. Ia tidak langsung memejamkan mata lalu tertidur nyenyak. Entah mengapa, malam itu rasanya ia diserang kekalutan. Tapi bagaimana pun, ia berharap semua baik-baik saja. Besok pagi ia dan Aka harus menyusul ke rumah Aa, tempat Ibu sedang mendapat pengobatan dari dokter langganan keluarga kakak iparnya malam ini. Besok Ibu harus dimandikan seperti tadi pagi sebelum berangkat. Hari-hari sebelumnya, ibu masih bisa bergerak sedikit. Mandi sesekali dibantu oleh Bibi kepercayaan ibu. Tadi pagi Ibu memang sudah tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan bernapas pun sulit. Tapi beliau masih bisa tersenyum dan membuka mata.
Empat hari sebelumnya, Eneng tiba bersama suami dan anaknya di rumah Ibu. Saat itu, PPKM (1) sedang diterapkan di berbagai daerah menyusul berita memuncaknya kasus COVID-19 (2) di Indonesia. Imbasnya, setiap hari terdengar pengumuman kematian banyak orang melalui pengeras suara dari masjid-masjid. Jalanan kosong. Semua diam di rumah. Jika terasa sakit, mereka takut ke rumah sakit. Takut dinyatakan COVID. Tapi di rumah, pergerakan jadi amat terbatas. Mereka sedang menunggu sembuh, atau menunggu ajal, barangkali. Rasanya amat mencekam sebagaimana digambarkan dalam suasana film-film distopia, atau permainan komputer bertema kiamat mayat hidup.
Tak terkecuali di Desa tempat Ibu dan Bapa menetap. Setiap Eneng melakukan panggilan video dengan orangtuanya, selalu ada berita kematian baru. Hingga akhirnya, Ibu dan Bapa pun tumbang. Tiba-tiba saja mereka sakit. Padahal sudah menerapkan pembatasan fisik. Celakanya, tidak ada yang dapat mengurus mereka di rumah sebab PPKM ini. Kami semua sudah tinggal di tempat yang berlainan. Tidak ada yang serumah dengan Ibu dan Bapa. Mereka tidak dapat berpindah sebab pemerintah pun mengimbau demikian. Bagaimana Ibu dan Bapa bertahan? Mereka saling bahu membahu mengurus diri dengan tubuh yang sedang melemah, dalam usia yang mulai renta. Tak tega, akhirnya Ibu dan Bapa sempat diungsikan ke rumah Aa selama beberapa hari. Itulah pilihan yang paling masuk akal dibanding semuanya. Jalan ke rumah Eneng bahkan dihalangi karena PPKM. Tidak ada yang boleh masuk ataupun keluar dari tempat masing-masing. Ajang juga sedang ada bayi di rumahnya.
Eneng sempat mengirimkan obat-obatan serta vitamin ke rumah Aa. Namun, kurir terlambat mengirimkan. Ibu juga ternyata sudah kembali ke rumahnya di desa. Waktu itu memang segalanya sedang sulit. Eneng ingat pesan terakhirnya kepada Ibu saat menanyakan apakah kurir sudah tiba dan mengirimkan obat dimaksud, Ibu menjawab,
"Ah, tos teu mikiran kurir-kuriran ibu mah. Bade uih ka bumi, we. Karunya barudak Aa bisi katepaan. Mangkaning anak mah segala-galanya, 'kan?" (3)