Sebenarnya, saya tuh paling malas kalau harus membicarakan resign. Karena menjadi perempuan karier adalah bagian dari masa lalu saya yang sering ketika disinggung lagi, saya jadi pengen balik ke sana (he-he). Ya gimana. Media sosial menampilkan berbagai sisi berkilauan nan menggiurkan dari teman-teman saya yang masih bertahan di sana. Yang lagi-lagi, bikin saya membayangkan andai saya masih di sana, saya akan jadi seperti apa?
Apakah masih jadi ibu-ibu yang (katanya) passionate dengan karier? Atau ibu-ibu yang menutup diri dari pergaulan kantor karena memang seperti itulah saya? Apakah saya juga masih misuh-misuh memikirkan kompetisi politik kantor yang selalu tidak mampu saya tembus? Apakah anak-anak saya senang dan bahagia bergelimpangan fasilitas mevvah (yang saat ini sederhana namun cukup)? Apakah saya tidak perlu khawatir akan biaya sekolah anak-anak (biar satu circle dengan anak sultan) di masa depan? Apakah anak-anak saya tumbuh baik dalam asuhan nenek & kakeknya? Dan, apakah suami saya ridho?
Apakah Alloh ridho?
Saya tergelitik membahas ini karena memang ada beberapa teman yang bertanya kepada saya, seperti apa rasanya resign. Hanya satu dari tujuh orang itu, yang benar-benar resign pada akhirnya. Jadi saya sangsi, apakah saya benar-benar bisa menjawab dengan baik? Ha-ha. Atau, apakah saya terlihat begitu tidak meyakinkan, sehingga tidak bisa dijadikan contoh penyintas resign? Ya gimana. Saya mah pragmatis, euy. Makanya, disclaimer nih: anda mungkin tidak akan mendapatkan sesuatu yang wow dari tulisan ini. Termasuk gambaran berlebihan tentang bahagianya menjadi IRT, betapa damainya hidup di rumah saja, atau betapa berbunga-bunganya waktu saya bersama keluarga.
Aku ‘gak gitu, Adik-adik.