28.6.22

(Akhirnya) Ngobrolin Resign

Sebenarnya, saya tuh paling malas kalau harus membicarakan resign. Karena menjadi perempuan karier adalah bagian dari masa lalu saya yang sering ketika disinggung lagi, saya jadi pengen balik ke sana (he-he). Ya gimana. Media sosial menampilkan berbagai sisi berkilauan nan menggiurkan dari teman-teman saya yang masih bertahan di sana. Yang lagi-lagi, bikin saya membayangkan andai saya masih di sana, saya akan jadi seperti apa?

Apakah masih jadi ibu-ibu yang (katanya) passionate dengan karier? Atau ibu-ibu yang menutup diri dari pergaulan kantor karena memang seperti itulah saya? Apakah saya juga masih misuh-misuh memikirkan kompetisi politik kantor yang selalu tidak mampu saya tembus? Apakah anak-anak saya senang dan bahagia bergelimpangan fasilitas mevvah (yang saat ini sederhana namun cukup)? Apakah saya tidak perlu khawatir akan biaya sekolah anak-anak (biar satu circle dengan anak sultan) di masa depan? Apakah anak-anak saya tumbuh baik dalam asuhan nenek & kakeknya? Dan, apakah suami saya ridho?

Apakah Alloh ridho?



Saya tergelitik membahas ini karena memang ada beberapa teman yang bertanya kepada saya, seperti apa rasanya resign. Hanya satu dari tujuh orang itu, yang benar-benar resign pada akhirnya. Jadi saya sangsi, apakah saya benar-benar bisa menjawab dengan baik? Ha-ha. Atau, apakah saya terlihat begitu tidak meyakinkan, sehingga tidak bisa dijadikan contoh penyintas resign? Ya gimana. Saya mah pragmatis, euy. Makanya, disclaimer nih: anda mungkin tidak akan mendapatkan sesuatu yang wow dari tulisan ini. Termasuk gambaran berlebihan tentang bahagianya menjadi IRT, betapa damainya hidup di rumah saja, atau betapa berbunga-bunganya waktu saya bersama keluarga.


Aku ‘gak gitu, Adik-adik.


17.6.22

Kamilia, Aril dan Cerita Wisudaku (yang Sebenarnya Tidak Ada Hubungannya)

Kamilia adalah anak SMA biasa. Baru lulus dan wisuda kemarin. Foto-fotonya yang sedang tersenyum bahagia di hari kelulusannya itu ramai di lini masa berbagai sosial media dan harian daring. Selempang bertuliskan “siswa berprestasi” dikenakannya dengan bangga. Menambah keren penampilannya. Meski begitu, sebenarnya Kamilia masih berduka. Duka yang dalam sekali. Beberapa pekan lalu, Aril, saudara kandung kesayangannya, meninggal dipeluk derasnya sungai saat mereka tengah liburan sekeluarga.

Aku ikut bahagia melihat Kamilia lulus SMA. Agak menorehkan haru dan nostalgia. Tentu bukan karena ia adalah junior SMA-ku. Hanya saja, aku membayangkan sebuah duka. Sebuah empati untuknya yang dilanda luka.




Enam belas tahun yang lalu.


Saat itu pesta kelulusan SMA. Ibu hadir dan berbaik hati membawakan tas besar yang berisi baju ganti untukku. Aku tidak langsung mengenakan kebaya dari rumah karena tentu akan menarik perhatian. Ditambah riasan wajahku yang menor dengan lipstik yang disapukan terlalu banyak dari luas bibirku sebenarnya - aku merasa seperti boneka Bratz waktu itu (atau Joker? Ha-ha). Untung ada ibu.


Awalnya, aku menikmati pesta kelulusan itu sambil ikut bertepuk tangan untuk teman-teman sekelasku yang berprestasi. Ada yang dipanggil ke panggung karena mendapat nilai UN tertinggi. Ada yang diumumkan namanya karena telah diterima sebagai mahasiswa di universitas negeri ternama. Ada juga yang mendapat beasiswa kedokteran dari perusahaan swasta di tempat tinggalnya. Aku tidak mendapat apa-apa. Tidak dipanggil sebagai apa-apa. Hanya satu orang biasa dibandingkan ratusan murid yang lulus.