There are a lot of story that I really want to publish (and delayed - and cancelled) here mainly about my life as a Medan citizen. But well, here are some pictures, and I will make it as short as possible - although it still long and has a lot of images. Be prepared!
***
Medan. Pertama dengar nama itu, yang langsung terlintas di benak adalah: orang Batak! Hohoho. Maaf lho, tidak bermaksud SARA sih. Tapi seperti kebanyakan orang lainnya, kurasa hal itulah yang langsung terlintas di benak hampir setiap orang Indonesia - Jawa khususnya. Medan, yang pertama kudengar adalah betapa kerasnya kehidupan di sana. Orang-orangnya, lalu-lintasnya, dan juga *ehem* harganya. Hal itu membuat saya kikuk juga pada awalnya. Tapi yasudahlah. Kebetulan ada 6 orang yang seangkatan yang ditempatkan di Medan pada bulan Desember 2012 itu. Dua di antaranya (termasuk saya) adalah perempuan. So I was glad that I wasn't alone.
Hari pertama memang selalu jadi yang terberat, apalagi di tempat baru dan asing. Dengan berbekal segala sugesti dan asumsi, mau gak mau kita tetap harus berani menyongsongnya. Kalau enggak, kita akan semakin lama untuk beradaptasi. Tapi di Medan kasusnya agak lain. Gak cuma hari pertama, minggu-minggu pertama itu saya cukup dibuat pusing dengan beberapa hal. Misalnya:
1
Transportasi
Bentor dan angkot, sebagai dua jenis angkutan umum populer di Medan, itu mirip banget kelakuannya dengan Bajaj. Sudah ngebut, kebal aturan pula. Kadang parno sendiri tiap abis naik bentor atau angkot di sini karena kecepatan jalannya udah kayak orang balapan. Dan klakson, di sini klakson itu murah banget! Sedikit aja jalanan terhambat, semua kendaraan membunyikan klakson. Apa gak pusing? Tapi setelah beberapa hari, terutama sekarang ini saat saya udah gak di Medan, saya kangen juga naek bentor. Abis, itu memang kendaraan yang paling gampang ditemui di Medan. Mau ke mana-mana gampang, karena dia prinsipnya persis Bajaj. Ditawar dulu harganya di depan, baru kalau udah deal, langsung cabcus deh ke tempat yang dituju. Apa gak praktis?