19.6.24

Sendu, Tiga Tahun yang Lalu

“Ibu sedang sakit keras. Saat ini dalam masa pengobatan. Mohon maaf tidak dapat membalas WA. Mohon do’anya agar beliau lekas sembuh.”

 

Demikian Status Whatsapp Ibu, 19 Juli 2021 pada Pukul 21.00 WIB. Ditulis oleh Eneng yang saat itu sedang di rumah Ibu, berdua saja dengan Aka anak laki-lakinya yang baru berusia 2 tahun.


Eneng mengetiknya sambil berurai air mata. Segera setelahnya, Eneng mengajak Aka untuk segera tidur di kamarnya. Ia tidak langsung memejamkan mata lalu tertidur nyenyak. Entah mengapa, malam itu rasanya ia diserang kekalutan. Tapi bagaimana pun, ia berharap semua baik-baik saja. Besok pagi ia dan Aka harus menyusul ke rumah Aa, tempat Ibu sedang mendapat pengobatan dari dokter langganan keluarga kakak iparnya malam ini. Besok Ibu harus dimandikan seperti tadi pagi sebelum berangkat. Hari-hari sebelumnya, ibu masih bisa bergerak sedikit. Mandi sesekali dibantu oleh Bibi kepercayaan ibu. Tadi pagi Ibu memang sudah tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan bernapas pun sulit. Tapi beliau masih bisa tersenyum dan membuka mata.

 




Empat hari sebelumnya, Eneng tiba bersama suami dan anaknya di rumah Ibu. Saat itu, PPKM  (1) sedang diterapkan di berbagai daerah menyusul berita memuncaknya kasus COVID-19 (2) di Indonesia. Imbasnya, setiap hari terdengar pengumuman kematian banyak orang melalui pengeras suara dari masjid-masjid. Jalanan kosong. Semua diam di rumah. Jika terasa sakit, mereka takut ke rumah sakit. Takut dinyatakan COVID. Tapi di rumah, pergerakan jadi amat terbatas. Mereka sedang menunggu sembuh, atau menunggu ajal, barangkali. Rasanya amat mencekam sebagaimana digambarkan dalam suasana film-film distopia, atau permainan komputer bertema kiamat mayat hidup.


Tak terkecuali di Desa tempat Ibu dan Bapa menetap. Setiap Eneng melakukan panggilan video dengan orangtuanya, selalu ada berita kematian baru. Hingga akhirnya, Ibu dan Bapa pun tumbang. Tiba-tiba saja mereka sakit. Padahal sudah menerapkan pembatasan fisik. Celakanya, tidak ada yang dapat mengurus mereka di rumah sebab PPKM ini. Kami semua sudah tinggal di tempat yang berlainan. Tidak ada yang serumah dengan Ibu dan Bapa. Mereka tidak dapat berpindah sebab pemerintah pun mengimbau demikian. Bagaimana Ibu dan Bapa bertahan? Mereka saling bahu membahu mengurus diri dengan tubuh yang sedang melemah, dalam usia yang mulai renta. Tak tega, akhirnya Ibu dan Bapa sempat diungsikan ke rumah Aa selama beberapa hari. Itulah pilihan yang paling masuk akal dibanding semuanya. Jalan ke rumah Eneng bahkan dihalangi karena PPKM. Tidak ada yang boleh masuk ataupun keluar dari tempat masing-masing. Ajang juga sedang ada bayi di rumahnya.


Eneng sempat mengirimkan obat-obatan serta vitamin ke rumah Aa. Namun, kurir terlambat mengirimkan. Ibu juga ternyata sudah kembali ke rumahnya di desa. Waktu itu memang segalanya sedang sulit. Eneng ingat pesan terakhirnya kepada Ibu saat menanyakan apakah kurir sudah tiba dan mengirimkan obat dimaksud, Ibu menjawab,


"Ah, tos teu mikiran kurir-kuriran ibu mah. Bade uih ka bumi, we. Karunya barudak Aa bisi katepaan. Mangkaning anak mah segala-galanya, 'kan?" (3)


14.6.24

Cerita Ibu-ibu Anak Dua Nyiapin Diri Buat LPDP Edisi 2024

Sebelumnya, disclaimer dulu, ya. Seperti saya ceritakan di tulisan sebelumnya, sebenarnya saya bukan awardee LPDP. Namun saya pernah melewati tahapan seleksi-seleksi awal beasiswa tersebut sebanyak dua kali di periode yang berbeda. Yakni 2016 dan 2024. Sayangnya, saya tidak berhasil melewati tahap wawancara di kedua seleksi tersebut.

Di tahun 2024, tahapan-tahapan awal dimaksud adalah:

  • Seleksi Administrasi - Berkas-berkas Pendaftaran
  • Seleksi Bakat Skolastik (TBS) - Mirip Tes Potensi Akademik (TPA)

Kedua tahap di atas tentunya tidak kalah penting. Jadi di sini saya mau berbagi sedikit mengenai hal-hal yang perlu disiapkan untuk tembus seleksi-seleksi awal LPDP. Khususnya untuk ibu-ibu yang masih punya anak balita (karena kemarin saya mencari-cari ini dan sulit banget nyarinya) dan lama tidak berada di bangku kuliah atau bekerja. Here we go.

1

Membaca dan Memahami Informasi dengan Seksama

Dalam satu tahun, biasanya ada dua periode LPDP yang pendaftarannya dimulai pada bulan Januari dan Juni. Sambil menunggu pendaftaran dibuka, Buibu bisa mulai dengan baca-baca booklet periode sebelumnya yang tersedia di situs utama LPDP secara seksama. Semua informasi yang berkaitan dengan tahapan LPDP, tertera di sana. Mulai dari persyaratan, tahapan, peraturan, juga daftar kampus tujuan baik dalam negeri maupun luar negeri

 

Berikut beberapa berkas yang penting untuk di-scan untuk mendaftar LPDP:

  • Sertifikat kemampuan bahasa Inggris (TOEFL ITP, TOEFL iBT, PTE, Duolingo, IELTS) - ini biasanya berbeda kebutuhannya antara kampus dalam negeri dengan luar negeri. Catat skor minimum yang diperlukan. Pastikan penyelenggara tes telah terafiliasi dengan ETS. Misalnya bisa dilihat di sini. Berlaku dua tahun.
  • Surat rekomendasi dari tokoh atau dosen. Ini ada formatnya, kok. Cek di booklet LPDP.
  • Pas foto.
  • Ijazah S1 berikut transkripnya.
  • KTP

2

Menentukan Kampus Pilihan

13.6.24

Tiket Menuju Slytherin

Suatu hari di awal Januari tahun ini, suami memberi saya uang saku lebih. Saya menggunakannya untuk mendaftar kuliah S2 ke salah satu kampus negeri di Jatinangor beserta seluruh persyaratannya. Mulai dari Tes Bahasa Inggris resmi dari kampus, TOEFL, Tes Potensi Akademik, bahkan membuat pas foto yang tentu saja tidak ada yang murah. Suami ridho karena memang dari awal sebelum menikah saya mengungkapkan bahwa suatu hari, entah kapan, saya ingin sekolah lagi. Namun tentu saja saya tidak ingin membebani keuangan keluarga untuk keinginan pribadi. Terlebih karena saya sendiri hanyalah seorang IRT yang kadang-kadang bekerja serabutan dari usaha kreatif kecil-kecilan. Makanya, untuk kedua kalinya setelah hampir satu dekade, saya pun mendaftar seleksi beasiswa LPDP. Setahun lagi, kesempatan saya akan habis mengingat usia yang sudah hampir tiga puluh lima. Jadi, saya kira, inilah saatnya.

Singkat cerita, semua prosesnya berjalan amat lancar dan Allah mudahkan sekali. Hampir semua sesi berlangsung secara daring. Suami mengambil cuti setiap ada jadwal seleksi, untuk manjaga anak-anak kami yang saat itu masih balita. Kadang-kadang, Bapa juga datang membantu. Alhamdulillah, saya pun lulus seleksi pasca sarjana di kampus tersebut. Nama saya sudah masuk sebagai calon mahasiswa baru 2024 dan tertera dalam surat kelulusan resmi dari universitas. Rasanya menyenangkan sekali. Sebagai orang dewasa yang lama tidak menginjakkan kaki di kampus, ini salah satu momen yang bikin self esteem saya lumayan naik. Saya juga telah mendapatkan beberapa kenalan baik dosen maupun tenaga kependidikan di kampus dan banyak berkomunikasi tentang rencana tesis saya di kemudian hari.

Bagaimana dengan pembiayaannya? Tentu saya sangat berharap pada LPDP ini. Tidak ada rencana kedua, ketiga dan seterusnya. Alhamdulillah, seperti beberapa tahun lalu, saya melaju hingga tahap akhir yakni wawancara. Dan di sanalah persisnya, saya kembali terpeleset.


 

Qodarulloh.

Rasanya sulit untuk dilukiskan. Jika diingat-ingat lagi, perasaan saya saat dini hari terbangun setelah mengintip pengumuman di situs LPDP saat itu, adalah, "oh ya sudah." Tidak heboh-heboh amat seperti yang lalu-lalu. Saya kembali tertidur sambil memeluk R, anak kedua saya yang sedang on progress disapih.

Di benak saya, setelah segala kehebohan ini, saya akan kembali menjadi IRT seperti biasanya. Kembali ke rutinitas awal dan, ya sudah. Tidak ada yang berubah. Karena kalau bukan rejeki, mau bagaimana lagi?

Biarpun begitu, satu dua hari setelahnya, saya terngiang-ngiang akan sebuah konten di media sosial milik salah satu dosen inluencer dari calon kampus saya. Bagaimana beliau mewawancara santai mahasiswa-mahasiswi pasca sarjana di kampus tersebut dengan sebuah pertanyaan:

"Mengapa lanjut S2?"

1.5.24

Berkebun; Kisah Filosofisnya

Setiap ditanya tentang hobi, sontak saya selalu menjawab: menggambar, membaca, dan menulis. Karena memang saya tidak punya hobi lain. Yah walau kadang-kadang, saya juga menonton serial drama, mendengarkan musik dan siniar, jalan-jalan, jajan, bahkan masak (yang gampang). Namun di antara sekian banyak pilihan hobi tersebut, ada dua kegiatan yang saya kira, amat tidak mungkin saya pilih: berolahraga atau berkebun. Saya amat lemah dalam bidang olahraga. Sementara berkebun, konon hanya orang yang sabar yang bisa (he-he). Adanya pandemi tahun 2020-2021 pun tidak mengetuk hati saya untuk mulai berkebun seperti yang lainnya. Lagipula saat itu saya sedang menjadi ibu baru dengan anak yang belum genap setahun. Saya merasa, dengan aktivitas itu saja saya sudah sangat sibuk.

Aglaonema maria yang mulai membaik pertumbuhannya.

Namun semua berubah saat saya mulai mengompos. Saya punya cukup banyak kompos hingga bingung mau diapakan kompos-kompos itu. (Tentang mengapa saya mengompos, saya akan ceritakan lain kali). Lalu ada beberapa pot tanaman bunga warisan almarhumah ibu yang sudah tidak karuan bentuknya. Padahal saat mereka pertama kali datang di bulan Juli 2021 lalu, mereka sangat subur dan terawat indah. Saya tidak tahu bagaimana harus memperlakukan mereka selain disiram! Jadi saya rawat mereka sekadarnya. Hanya jangan sampai mereka mati saja. Biasanya saya meminta bantuan Bapa jika merasa tanaman-tanaman saya mulai terlihat tidak baik (entah tidak baiknya itu apa). Bapa-lah yang akan mengerjakan sebagian besar aktivitas berkebun ini.


Nasib tanaman warisan Ibu di tangan saya selama beberapa bulan pertama. Menyedihkan.
Nasib tanaman warisan Ibu di tangan saya selama beberapa bulan pertama. Menyedihkan.

Hingga suatu hari, saya menaruh beberapa biji bunga telang di tanah begitu saja. Serta beberapa bibit kangkung. Ternyata setelah beberapa pekan, mereka tumbuh. Saya dibuat kaget dan kagum. Dari sebongkah biji-bijian, bisa tumbuh menjadi tanaman dengan batang dan daun sejati. Sangat rewarding. Maka begitulah. Tahun ini, saya bisa bilang, kalau saya mulai jatuh cinta dengan berkebun.


20.3.24

Enggak Apa-apa, Pengalaman

Ada sebuah fakta unik. Saya tidak mengetahui arti dari kalimat itu hingga baru-baru ini. Kalimat ini biasa dilontarkan pada saat seseorang merasa perlu menghibur orang lain yang ditimpa kegagalan atau kekalahan. Seperti tidak juara lomba menggambar, tidak menang lomba cerdas cermat, tidak lulus LPDP, dsb. Saya tidak merasa kalimat itu mempunyai arti tertentu. Oke. Pengalaman. Lalu apa?

Serius. Belakangan, kalimat itu tiba-tiba mengemuka berkat keisengan amygdala saya. Lalu setelah saya menelaah artinya, ternyata ia bermakna lebih dalam dari yang biasanya saya kira (dan abaikan).


Mari kita urai.


Pernah mendengar kiasan bahwa “pengalaman adalah guru terbaik” bukan? Ini ada kaitannya. Biasanya, segala pengalaman, akan dianggap kenangan belaka. Entah manis, entah pahit. Tidak semua akan menempel lekat-lekat di kepala (atau amygdala). Nah, pengalaman yang hadir berkat kegagalan seseorang, punya efek yang spesifik. Ia bisa jadi:

  • batu sandungan, atau
  • batu loncatan

Menjadi batu sandungan ketika kita “kapok” karenanya. Pastinya ada beberapa pengalaman gagal yang membuat kita enggan mencoba lagi. Misalnya karena membahayakan diri. Seperti gagal mengambang di kolam renang. Atau gagal menjaga keseimbangan saat memegang setang sepeda lalu menyebabkan orang yang dibonceng terperosok ke lumpur di sawah. Beberapa orang bisa terpengaruh begitu dalam hingga di kemudian hari tidak mau berenang lagi. Atau memegang setang sepeda lagi.


Namun dapat menjadi batu loncatan pada saat seseorang yang gagal lalu belajar dari pengalamannya. Mengingat kembali, mengevaluasi apa yang salah hingga kegagalan itu menjadi kesimpulan atas apa yang dialami. Lalu mencoba agar tidak membuat kesalahan serupa agar tidak ada kegagalan yang sama. Seperti ujian matematika waktu SMA. Betapapun tidak sukanya, kita perlu lulus supaya bisa melenggang ke tahap selanjutnya. Makanya kita mengingat-ngingat soal apa yang keluar. Lalu berlatih dengan soal-soal yang serupa. Agar tidak gagal lagi saat mengulang ujian.


Kemudian saat akhirnya berhasil, kita jadi mengerti mengapa orang berseloroh “tidak apa kalau gagal, jadikan pengalaman.” Iya. Mereka mungkin sekadar berbasa-basi. Namun kita yang mendengar perlu menganggapnya sebagai amunisi. Agar meratapi kegagalan secukupnya saja. Lalu menjadikannya pengalaman yang berharga (baik ataupun buruk).


Karena di usia saya yang sudah tiga puluhan ini, saya amat setuju bahwa ia benar-benar guru terbaik. Ia memicu kita untuk bergerak lebih baik. Mengambil keputusan bijak. Sumbernya tidak harus kegagalan pribadi. Ada banyak cermim dari berbagai pengalaman orang sekitar lewat buku dan obrolan (atau media sosial). Hmm, ternyata bahan belajar kita bisa banyak sekali.

29.2.24

Refleksi Singkat di Tahun Kabisat (Mumpung Sempat)

Tidak ada tema khusus hari ini selain karena tanggal 29 Februari tidak terjadi setiap tahun. Tapi, serius deh. Memang, sejak rutinitas saya berkutat seputar per-stay-at-home-mother-an untuk dua balita laki-laki ini, rasanya energi sudah habis di pengujung hari, kalau mesti nulis yang sulit-sulit. Hingga kalau ada waktu kosong ya minimal scroll instagram gitu. Cek-cek reels viral yang bikin FOMO. Atau, nonton drakor. Sesuatu yang amat jarang dilakukan, namun kalau sudah kecebur suka sulit dihentikan. Makanya terakhir saya ngedrakor itu mungkin pas The Glory tayang (September 2023?). Setelahnya malas berkomitmen dengan drakor apapun.



Anyway, ibarat serial, saat ini arc cerita hidup saya sedang berada di area SAHM dan Anbuhood. Jadi punten nih, mungkin kali ini saya akan cerita tentang itu lagi itu lagi.


Kali ini, tentang “kesempatan”. Bukan sembarang kesempatan. Melainkan tentang ruang untuk bisa belajar dan berkembang.


12.1.24

Being Thirty For A While

“How old are you?”

“Thirty’s”

“How long have you been thirty’s?”

“A while..”

(Bella to Edward on Twilight, 2008).

Pfft of course I modified it because I am actually double of Edward’s legal age by now.

I’ve been meaning to rant a lot about this since a long time ago - that time of the moment of truth happened when I was reminded that I’m no longer that youngest gurl in class. In my past, I was known for being the youngest of them all. Or second youngest. That’s why the feeling of being the oldest is quite new to me. And I was like, oh this is how it feels.

So several months ago, I noticed on the Instagram that a book fair would be held publicly somewhere in Bandung. And they were opened for volunteers. One of the position available was social media contributors. Well I am a social media contributor in a non profit community so I was thinking that maybe the job was fit for me. But my situation was that I have two toddlers with me and I have no ability to be mobile. So then I asked the contact person about my situation and whether if it was okay if I join the volunteer team. I’ve got no reply so I was understand that it was a no. I moved on then.

Several weeks later, our community had an opportunity to give a talk on the main stage on that book fair. Since I was on the social media team, I had to present to take photos and videos to be reported on our Instagram. I was in charge to contact the officials of the book fair, too, and after the event was ended, I thank the officials and later I realized that she was the contact person I mentioned earlier. She was the first to notice and guess what did she said to me?

“Oh, hi, Ma’am. I remember you were applying to be social media volunteers on this event. So sorry for not replying, we were hectic at the moment and as you can see here, the volunteers are mostly college students.”

Boom! I looked around and noticed that was true lol. Gosh I giggled noticing how silly I was. I also had this sudden urge to runaway to check my IDs to see what year my birthday again lol. Really I didn’t see it coming. I went home with some overthinking feeling lingering in my head. Silly me.

Andddd that was the moment I realized that on your 30s, you didn’t really have a chance to start fresh. Like, people hope you are half way there. In everything. A successful business owner with zillions in your bank account. A manager assistant in a big corporate career ladder. Mom of preteens or elementary schoolers. Start a franchise. Finish a master degree or two - even start to pursue PhD. Purchased another property. Had at least one designer bag. The list could be going on and on.

(At this point why I am still surprised that people do mind some timeline for other people).

Lucky for me I have a circle that happened to be the same age and that quite keep me sane. Like when we found a job recruitment flyer and it was stated that applicants should not be older than 25. God it was laughable but sad at the same time. Especially for a mom that have a gap year after her career break to look after the babies. Do we even really have a chance to “come back”?

An old friend earlier today asked me about my biggest dream. Ten years ago I probably list a bunch of places I want to go to, subjects I want to learn, shoes I want to purchase, and even getting a degree - which was I tried and failed once. But today when I contemplate the answers, I ended up awake at this hour. What is actually my dream? Is it okay to have a dream, while you have responsibilities that occupy your top priorities list now?  Is it okay to be selfish? Or what is selfish means again? Because the answers may vary.

Then I also remembered that my late mother had her first course as MUA in her 38 while had us three children. She pursued her career dream just in time because after many years of networking, she had a lot of clients after that. And also to note that, my father was very supportive. We had this ups and downs when we were kids but our parents didn’t give up that easy.

Well, so we came of that kind family.