Saya rada anti sama kata “terakhir”. Seringnya orang-orang menyebut kata itu dengan tidak benar-benar bermaksud sebagaimana seharusnya. “Janji, ini terakhir kali gue belanja online bulan ini.” Atau, “Terakhir makan mie instan kayaknya sebulan lalu sih”. Atau, “kamu adalah cinta terakhirku!” (Kemudian yang mendengar tersiksa harus menahan gumoh).
Tapi “Terakhir” juga sering dijadikan dalih, supaya orang jadi lebih waspada dan memanfaatkan momen. “Jangan sering-sering marahan dengan pasangan, kita tidak pernah tahu kapan momen terakhir dengan mereka akan terjadi”. (Yang ini jujur membuat pengetikan draft blog terganggu isak tertahan membayangkan betapa sedihnya jika ini terjadi).
![]() |
Illustration by me. |
Ya. Sebulan lebih kami ‘mengungsi’ di Sumedang, ke haribaan kenyamanan orang tua sebagai dalih membantu pengurusan si anggota keluarga termuda yang belum genap tiga bulan itu. Memang sangat nyaman, sih, ya. Saking nyamannya jadi keenakan. Kebiasaan! Makanya, begitu tiba di rumah (kontrakan) di Bekasi itu, perasaan aneh jadi membuncah. Sebulan saja tapi berasa lamaaa sekali. Seperti sudah setahun, dan kenangan akan kebersamaan di rumah itu menyerbu tiba-tiba. Terbayang, rumah sebesar ini, betapa sepinya, ditinggali oleh Apa-nya Faruki sendirian setiap Senin sampai Jum’at. Yang biasanya setiap pagi sarapan bersama masakan (coba-coba) istrinya, bareng-bareng kerjasama memandikan Faruki, lalu diantar berangkat kerja sampai gerbang rumah sambil dadah-dadah, dan setiap pulang kerja disambut segelas air berasa atau bersuhu, kemudian menutup hari melalui tidur dengan melihat istri dan anak di sebelahnya. Lalu tiba-tiba menghilang selama sebulanan ini.