21.8.19

Kembali, Mungkin Terakhir Kali

Saya rada anti sama kata “terakhir”. Seringnya orang-orang menyebut kata itu dengan tidak benar-benar bermaksud sebagaimana seharusnya. “Janji, ini terakhir kali gue belanja online bulan ini.” Atau, “Terakhir makan mie instan kayaknya sebulan lalu sih”. Atau, “kamu adalah cinta terakhirku!” (Kemudian yang mendengar tersiksa harus menahan gumoh).

Tapi “Terakhir” juga sering dijadikan dalih, supaya orang jadi lebih waspada dan memanfaatkan momen. “Jangan sering-sering marahan dengan pasangan, kita tidak pernah tahu kapan momen terakhir dengan mereka akan terjadi”. (Yang ini jujur membuat pengetikan draft blog terganggu isak tertahan membayangkan betapa sedihnya jika ini terjadi).

Illustration by me.

Ya. Sebulan lebih kami ‘mengungsi’ di Sumedang, ke haribaan kenyamanan orang tua sebagai dalih membantu pengurusan si anggota keluarga termuda yang belum genap tiga bulan itu. Memang sangat nyaman, sih, ya. Saking nyamannya jadi keenakan. Kebiasaan! Makanya, begitu tiba di rumah (kontrakan) di Bekasi itu, perasaan aneh jadi membuncah. Sebulan saja tapi berasa lamaaa sekali. Seperti sudah setahun, dan kenangan akan kebersamaan di rumah itu menyerbu tiba-tiba. Terbayang, rumah sebesar ini, betapa sepinya, ditinggali oleh Apa-nya Faruki sendirian setiap Senin sampai Jum’at. Yang biasanya setiap pagi sarapan bersama masakan (coba-coba) istrinya, bareng-bareng kerjasama memandikan Faruki, lalu diantar berangkat kerja sampai gerbang rumah sambil dadah-dadah, dan setiap pulang kerja disambut segelas air berasa atau bersuhu, kemudian menutup hari melalui tidur dengan melihat istri dan anak di sebelahnya. Lalu tiba-tiba menghilang selama sebulanan ini.

16.8.19

Sim, Salabim, (Besok Gede) Jadi Apa? Prok.. Prok.. Prok!!

Belum genap lima bulan punya anak (bayi), akhirnya pelan-pelan saya merasakan kemunculan benih-benih ambisi mamah-mamah zaman now sebagaimana dicontohkan secara nyinyirly hilarious oleh akun IG @mamambisius. Iya, fenomena “pamer anak” di sosmed masa kini memang seambisius itu. Apa saja dipamerin. Baru lahir, pamer melahirkan gentle birth. Katanya, anaknya nurut afirmasi positif emaknya sehingga lahirannya gampil. Hm. Oke. Beberapa bulan kemudian, milestone terdokumentasikan: berhasil berguling, tengkurap, tiarap, merangkak, jalan kaki, jalan jongkok.. dsb. Sudah rada gede nih, anaknya ternyata mau main mainan Montessori yang tidak terlihat menarik itu (sehingga itu sebuah prestasi). Balita, berhasil masuk ke sekolah usia dini yang daftarnya saja waiting list dari zaman orok belum lahir. Kemudian tiba-tiba si anak ngomongnya sangat keminggris. Orang tuanya mah kalah dah. De es be, de es te.



Salah? Gak ada yang bilang salah sih. Bagi netijen julid berpotensi iri dengki mungkin salah. Yang lainnya, jadi sebuah inspirasi. Kadang jadi patokan perkembangan anak gitu. Semacam, anaknya Andien ‘gak nangis kalau jatoh, berarti anak gue juga harus demikian. Hm. Oke. Buibuk, setelah saya mencapai milestone menjadi mamak-mamak anak satu (ciye, mahmud abas cie.. eh iya gue gak muda huhu), barulah saya sadar bahwa social pressure semacam itu memang nyata adanya. Gak usah jauh-jauh nengok sosmed deh. Tetangga kita punya anak dengan kegendutan pesat saja, kadang lihat anak sendiri jadi berasa kerempeng. Padahal pertumbuhannya normal-normal saja, sesuai kurva pertumbuhan anak. Atau lihat rambut anaknya jeng-jeng komplek sebelah sudah jabrik sedari brojol, diri ini pun lihat anak berasa botak banget. Jadi gak sabar mau lihat rambutnya tumbuh barang semilimeter gitu. Atau lihat anak lain dipakein turban lucu-lucu, jadinya kepengen padahal anak ini laki-laki yang notabene pilihan aksesorisnya terbatas.

Apa ini namanya? Social pressure menular ke anak? Gejalanya begini amat memang. Gejala-gejala kufur nikmat. Hiih.

15.8.19

The Eclipse

Writing keeps me sane; as I repeatedly suggest myself lately, and it does. Remember my writing about escaping motherhood? That was what exactly how I felt about it before this one particular day. The day that changed me and how I see things forward. About how I see Faruki.

Several days after he was born, this evil thought came to my mind: this baby is a bundle of joy, but for how long? He’d be only a big business to tend to the day forward. Could we really do that?

To remember that such thought really existed, I feel sad and guilty. Seeing Faruki’s photos on his early days, small and fragile, made me really upset like, why did I feel that way? I read it somewhere that it was normal - named baby blues, and all. But still, it gave me chills every time I remember it.

Illustration by me.

It happened not long ago, actually. That particular day I was talking about. So since he was about two weeks, Faruki known for his cranky behaviour, agreed by both his grandparents. Yeah. Faruki cries a lot. And I mean, A LOT. It made us the parents - well, me - really unconfident especially when the grandparents were around. We were always extra prepared for whatever bad things a.k.a that regular arsenic hours happen every night. We need to be fit and healthy, only to tend one child! We were really tired and cranky sometimes (I, cranky a lot). That was why, I decided to have time out: sleeping day and night for one to two hours undisturbed everyday, passing Faruki to his Apa & grandparents. I only allow them to wake me up when Faruki needs to be fed.

7.8.19

Mari, Bung! Rebut (Literasi Unggul) Kembali - Strategi Win Back


Cita-cita luhur negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai UUD 1945, sebagaimana dipetakan juga dalam visi Kemdikbud 2025 yakni membentuk insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif (insan kamil/paripurna), mendorong diperlukannya peningkatan, bahkan pembenahan di berbagai aspek pendidikan. Salah satunya adalah literasi - yang menurut KBBI berarti, kemampuan membaca dan menulis. Sejarah emas bangsa ini telah merekam bagaimana orang-orang hebat pencetus kebangkitan nasional dibesarkan melalui aktivitas literasi. Sebut saja Bung Karno yang pernah menulis naskah pidato Indonesia Menggugat yang fenomenal itu, Bung Hatta yang bahkan rela dipenjara asal bersama buku, atau dr. Sutomo sang pendiri Budi Oetomo yang menggunakan literasi sebagai salah satu senjatanya dalam pergerakan melawan penjajah Belanda.

Buat banyak orang penjara itu tempat yang buruk, tempat yang tidak ada enak-enaknya, tidak ada yang baik. Tapi buat Bung Hatta, penjara adalah ruang semedi, ruang pertapaan di mana orang bisa memperkuat watak, memperkuat iman, terutama jalannya adalah dengan membaca,” (J. J. Rizal, sumber).

Jadi sebetulnya, kita pernah unggul! Lantas, apa yang bisa upayakan untuk kembali unggul seperti di zaman para pendiri bangsa ini? Agar kita, juga anak-anak kita, generasi alfa penerus bangsa tidak terlena dengan percepatan kemajuan teknologi yang tersederhanakan dalam sebuah gawai saja?

Gambar oleh Dewiif.

Ya. Kita membutuhkan sebuah program Win Back.


Dalam istilah pemasaran, program ini dilakukan saat pemasar menggunakan sejumlah cara untuk merebut kembali pelanggan lama yang sempat berhenti bermitra - entah karena sudah beralih ke produk kompetitor, entah sudah tidak tertarik, dan sebagainya. Menariknya, hal ini dapat kita terapkan sesuai dengan analogi “kegiatan berliterasi” sebagai produk, sedangkan mitranya adalah kita sendiri.