Adab dulu, baru ilmu.
Kalimat ini sedang sering terngiang di telinga kita baru-baru ini. Ketika semakin banyak orang yang hijrah (alhamdulillah!) namun dampak hijrahnya ini berbeda-beda satu dan yang lainnya. Yang hijrah kemudian mengajak orang lain, banyak! Yang hijrah kemudian meneliti dosa orang lain, juga banyak! Bahkan dosa seorang ustadz yang bukan gurunya seperti yang ramai diperbincangkan kemarin. Tidak segan kita menguliti orang yang berbeda dengan kita tanpa ampun. Padahal edukasi tentang toleransi sudah diajarkan sejak SD. Budaya "main hakim sendiri" yang biasa disandingkan untuk orang-orang pelaku pengeroyokan saat ini sudah bergeser dari dunia nyata ke dunia maya: netizen. Kedoknya sama: hijrah. Bedanya, pengeroyokan di dunia nyata bisa bikin mati secara fisik. Kepada pencopet, kepada yang disangka pencopet, dan sejenisnya. Sedangkan di dunia maya, bikin mati secara psikis. Masa sih, hijrah malah membuat orang jadi hakim instan?
Amit-amit, yak.
Tapi ini 'kan menyampaikan kebenaran! Kilahnya. Ya anda sendiri, menyampaikan kebenaran dengan cara melukai perasaan orang, bahkan cenderung merundung (bully), menurut anda itu sudah benar? Eh tapi dialog ini 'gak beneran terjadi kok. Hasil menyimak juga. Hasil menghakimi juga. Hakim-ception. Hah!