13.6.24

Tiket Menuju Slytherin

Suatu hari di awal Januari tahun ini, suami memberi saya uang saku lebih. Saya menggunakannya untuk mendaftar kuliah S2 ke salah satu kampus negeri di Jatinangor beserta seluruh persyaratannya. Mulai dari Tes Bahasa Inggris resmi dari kampus, TOEFL, Tes Potensi Akademik, bahkan membuat pas foto yang tentu saja tidak ada yang murah. Suami ridho karena memang dari awal sebelum menikah saya mengungkapkan bahwa suatu hari, entah kapan, saya ingin sekolah lagi. Namun tentu saja saya tidak ingin membebani keuangan keluarga untuk keinginan pribadi. Terlebih karena saya sendiri hanyalah seorang IRT yang kadang-kadang bekerja serabutan dari usaha kreatif kecil-kecilan. Makanya, untuk kedua kalinya setelah hampir satu dekade, saya pun mendaftar seleksi beasiswa LPDP. Setahun lagi, kesempatan saya akan habis mengingat usia yang sudah hampir tiga puluh lima. Jadi, saya kira, inilah saatnya.

Singkat cerita, semua prosesnya berjalan amat lancar dan Allah mudahkan sekali. Hampir semua sesi berlangsung secara daring. Suami mengambil cuti setiap ada jadwal seleksi, untuk manjaga anak-anak kami yang saat itu masih balita. Kadang-kadang, Bapa juga datang membantu. Alhamdulillah, saya pun lulus seleksi pasca sarjana di kampus tersebut. Nama saya sudah masuk sebagai calon mahasiswa baru 2024 dan tertera dalam surat kelulusan resmi dari universitas. Rasanya menyenangkan sekali. Sebagai orang dewasa yang lama tidak menginjakkan kaki di kampus, ini salah satu momen yang bikin self esteem saya lumayan naik. Saya juga telah mendapatkan beberapa kenalan baik dosen maupun tenaga kependidikan di kampus dan banyak berkomunikasi tentang rencana tesis saya di kemudian hari.

Bagaimana dengan pembiayaannya? Tentu saya sangat berharap pada LPDP ini. Tidak ada rencana kedua, ketiga dan seterusnya. Alhamdulillah, seperti beberapa tahun lalu, saya melaju hingga tahap akhir yakni wawancara. Dan di sanalah persisnya, saya kembali terpeleset.


 

Qodarulloh.

Rasanya sulit untuk dilukiskan. Jika diingat-ingat lagi, perasaan saya saat dini hari terbangun setelah mengintip pengumuman di situs LPDP saat itu, adalah, "oh ya sudah." Tidak heboh-heboh amat seperti yang lalu-lalu. Saya kembali tertidur sambil memeluk R, anak kedua saya yang sedang on progress disapih.

Di benak saya, setelah segala kehebohan ini, saya akan kembali menjadi IRT seperti biasanya. Kembali ke rutinitas awal dan, ya sudah. Tidak ada yang berubah. Karena kalau bukan rejeki, mau bagaimana lagi?

Biarpun begitu, satu dua hari setelahnya, saya terngiang-ngiang akan sebuah konten di media sosial milik salah satu dosen inluencer dari calon kampus saya. Bagaimana beliau mewawancara santai mahasiswa-mahasiswi pasca sarjana di kampus tersebut dengan sebuah pertanyaan:

"Mengapa lanjut S2?"

Jawaban dari mahasiswa-mahasiswi yang tampak masih amat muda ini cukup beragam. Tapi mungkin karena konteksnya santai, mereka menjawab dari mulai:

"Soalnya belum dapet kerja. Jadi lanjut dulu aja."
"Cari jodoh. He-he."

sampai,

"Biar bisa wisuda pake toga Slytherin, Bu!"*


 

Tidak ada yang salah dari jawaban mereka. Tentu saja, motif sebenarnya belum tentu sama dengan yang mereka ucapkan. Karena, seharusnya memang tidak ada alasan yang terlalu dalam untuk sekolah. Cukup karena ingin belajar, tidak masalah menurut saya. Apalagi jika kesempatan dan biayanya ada. Dosen yang ahli di berbagai disiplin ilmu 'kan banyak. Kampus pun menyediakan sarana prasarana agar kita bisa mempelajari ilmu yang dimaksud. Bayangkan jika tidak ada yang mau melanjutkan sekolah hingga jenjang lebih tinggi. Kampus-kampus bakalan sepi, 'gak sih? Tidak ada yang mewarisi ilmu yang dipunyai dosen-dosen ini. Sebagian ilmu bisa saja menghilang dari bumi. Yah, walaupun bisa dibaca, sih. Tetap saja, belajar dari guru itu perlu.

(Psst. Dari pengalaman tanya sana-sini, rupanya ada juga yang sekolah pasca sarjana agar bisa lebih "bernilai" di mata masyarakat saat memampang foto diri dengan nama dan gelar di poster-poster kampanye caleg. Ini seriusan.)

Beberapa waktu lalu saya membaca memoar Tara Westover berjudul "Educated". Tara dengan segala tantangan hidupnya yang unik dikaruniai orangtua yang keras kepala, yang tidak percaya pada sistem sekolah konvensional. Ia pada akhirnya belajar dan berhasil bersekolah hingga mencapai gelar doktor. Sebenarnya, banyak sekali orang-orang seperti Tara di luar sana. Yang belajar karena memang ingin belajar. Tidak jarang juga saya menemukan bagaimana "orang biasa" ternyata sekolahnya minimal sampai master. Bisa jadi gelar masternya bahkan lebih dari satu jenis.

Bagaimana dengan di Indonesia? Bahkan saat hendak belajar di jenjang S1 saja seringkali kita gentar memikirkan "apa kata orang" atau "nanti bakal jadi apa?". Kita dituntut untuk menjawab banyak sekali pertanyaan hanya karena kita ingin bersekolah. Terlebih saat lebaran. Dilontarkan oleh om dan tante yang barangkali tidak sekenal itu dengan kita.

 

Situasinya lebih mengkhawatirkan manakala hal ini dialami seorang ibu rumah tangga biasa seperti saya. Makin aja ditanya, buat apa cenah. Bukankah menjadi IRT hanya cukup dengan ilmu-ilmu kerumahtanggaan saja? Masak yang enak. Ngasuh anak sebagaimana umumnya. Serahkan pendidikan dan pengajaran ke sekolah, seperti yang lainnya. Beberesih yang rajin. Berkebun menjadi nilai tambah. Menyenangkan suami, biar betah di rumah dan tidak keluyuran. Jika paham agama, menjadi poin plus (sebenarnya itu intinya, sih). Apa yang dicari dari sekolah tinggi-tinggi? Terutama pada saat kita tidak ada rencana untuk kembali bekerja selesai berkuliah. Kayak, useless banget jadinya - demikian stereotipenya.

Yang lebih lucu, "daripada sekolah yang duniawi banget, kenapa 'gak fokus ngaji aja?"

Padahal bisa banget kalau jalanin keduanya, lo. Mencari ilmu duniawi juga ada pahalanya, bukan? Wallohu'alam.


Kita masih lekat dengan anggapan bahwa kuliah adalah jalan menuju bekerja di luar rumah. Agar mendapatkan uang yang banyak. Balik modal dengan kesuksesan. Minimal, rumah gedong kayak di sinetron Indo*siar atau mobil mahal bermerek. Pantes, sih, kalau orang berharap demikian. Karena kuliah itu mahal banget memang biayanya. Saya kurang tahu sekarang berapa. Tahun 2006 saat saya S1 di Unpad saja, uang masuk di kampus adalah 4 juta rupiah. Dengan semesteran sebesar 1,5 juta rupiah. Itu bahkan sudah termasuk mahal di fakultas saya. Untuk ilmu-ilmu sosial malah semesterannya lebih murah lagi: hanya 700-900 ribu rupiah.

Bagaimana dengan S2? Saat saya periksa, tahun 2024 ini, UKT-nya sekitar 15 apa 18 juta rupiah, gitu. Saya belum berani mengintip lagi ke situs akademik kampus. Karena sudah pasti saya tidak akan melanjutkan segala prosesnya berhubung beasiswanya tidak lulus.

Dan bagaimana dengan alasan saya sendiri untuk melanjutkan S2? Walau klise, S2 itu sebuah cita-cita lama karena, bisa dibilang saya senang belajar. Iya memang belajar sekarang bisa dari mana saja. Tidak harus di kampus. Akan tetapi, kampus adalah sebuah sistem. Saya menyadari keterbatasan saya yang kurang bisa "bergerak" jika tidak masuk ke dalam sistem tertentu. Sehingga, cara saya mendapat pengalaman belajar, ya, di kampus. Dengan kuliah pasca sarjana. Di samping saya memang punya keinginan belajar yang berkelanjutan, mendalami topik tertentu, lalu mempunyai rekan diskusi serius yang dengannya akan menghasilkan karya-karya akademis yang bermanfaat. Gelar adalah bonus. Karir di masa depan juga bonus. Sebagaimana toga slytherin yang gemerlapan seperti dikemukakan di atas.

Belum lagi saat membayangkan, bagaimana anak-anak kami akan punya sudut pandang tertentu tentang serunya mencari ilmu. Serunya belajar. Serunya bersekolah.

 

Dan lagi.. bukankah salah satu amal yang mengalir hingga ke liang kubur adalah "ilmu yang bermanfaat"? Bagaimana akan memanfaatkannya, jika ilmunya saja kita tidak punya?

Ah.. sebenarnya segala racauan ini bukanlah ungkapan kekecewaan saya karena belum rejeki untuk lanjut S2 tahun ini. InsyaAlloh sudah ikhlas. Sejak awal mendaftar, saya dan suami memang sudah sepakat dan berusaha tawakkal, agar apapun yang terjadi pada akhirnya, kita perlu mensyukuri segala ikhtiar yang telah dijalankan. Bahwa hasilnya adalah hak prerogratif Alloh dan tentunya inilah yang terbaik. Kami amat bersyukur Allah hantarkan kami untuk mengecap pengalaman ini. Yang tentu tidak semua pernah merasakan. Alhamdulillah.

Nah sekarang pertanyaannya adalah.. kapan mau ikhtiar untuk S2 (gratis) lagi? Mudah-mudahan ada rejeki lain. Dan tidak harus sekarang, Tentunya tidak harus LPDP. Kalau ada budget-nya mah mau banget, sih, pakai uang pribadi, he-he. Yang perlu diingat, ketika sudah berkeluarga, harus rela menggeser-geser rencana. Karena prioritas 'kan sudah berbeda. Apapun itu, kami percaya, Alloh Maha Memudahkan.
Terima kasih ya Alloh. Atas segala pengalaman dan hikmah berharga hingga detik ini.
Terima kasih suami, atas dukungan, upaya, keridhoan dan juga pengertiannya pada istri yang banyak kahayang seperti aku ini.
Terima kasih Bapa, Mamah, Papah. Sudah selalu berhusnudzon.
Terima kasih anak-anak lelakiku yang hebat. Baik, sholih dan pengertian sekali setiap ditinggal ke sana kemari untuk tes ini-itu.

Terima kasih, Ibu, sudah menjadi inspirasi yang begitu besar. Bahkan menjelang beliau berpulang, semangatnya untuk mencari ilmu dan berkreasi masih tinggi. InsyaAlloh, ini menjadi warisan sikap yang tak ternilai dari Ibu.

Terima kasih juga pada teman-teman awardee LPDP yang mau saya tanya-tanyain mengenai pengalamannya. You know who you are. Pada akhirnya, dengan segala pengalaman ini, saya menyadari bahwa yang perlu sekampung tuh ternyata bukan hanya dalam membesarkan anak. Tetapi juga dalam membahagiakan seorang ibu. Wallohu'alam.
 


Catatan:

*Slytherin: nama salah satu asrama sekolah Hogwarts di cerita Harry Potter. Gambar teratas adalah karya penulis. Sisanya diambil dari Google dan Pinterest.

1 comment:

  1. Keren bangeeet Budewi. Aku yg IRT ini bahkan awalnya ga kebayang buat S2 xixi. Skrg mulaiii mikir melihat keberanian Budewi 😆❤️❤️❤️. Baarakallah fiik. Tidak lolos bukanlah kegagalan, krn dg mengikuti segala proses seleksi pun sdh merupakan "keberhasilan" buat Budewi! ❤️

    ReplyDelete

WOW Thank you!