Setiap ditanya tentang hobi, sontak saya selalu menjawab: menggambar, membaca, dan menulis. Karena memang saya tidak punya hobi lain. Yah walau kadang-kadang, saya juga menonton serial drama, mendengarkan musik dan siniar, jalan-jalan, jajan, bahkan masak (yang gampang). Namun di antara sekian banyak pilihan hobi tersebut, ada dua kegiatan yang saya kira, amat tidak mungkin saya pilih: berolahraga atau berkebun. Saya amat lemah dalam bidang olahraga. Sementara berkebun, konon hanya orang yang sabar yang bisa (he-he). Adanya pandemi tahun 2020-2021 pun tidak mengetuk hati saya untuk mulai berkebun seperti yang lainnya. Lagipula saat itu saya sedang menjadi ibu baru dengan anak yang belum genap setahun. Saya merasa, dengan aktivitas itu saja saya sudah sangat sibuk.
Aglaonema maria yang mulai membaik pertumbuhannya. |
Namun semua berubah saat saya mulai mengompos. Saya punya cukup banyak kompos hingga bingung mau diapakan kompos-kompos itu. (Tentang mengapa saya mengompos, saya akan ceritakan lain kali). Lalu ada beberapa pot tanaman bunga warisan almarhumah ibu yang sudah tidak karuan bentuknya. Padahal saat mereka pertama kali datang di bulan Juli 2021 lalu, mereka sangat subur dan terawat indah. Saya tidak tahu bagaimana harus memperlakukan mereka selain disiram! Jadi saya rawat mereka sekadarnya. Hanya jangan sampai mereka mati saja. Biasanya saya meminta bantuan Bapa jika merasa tanaman-tanaman saya mulai terlihat tidak baik (entah tidak baiknya itu apa). Bapa-lah yang akan mengerjakan sebagian besar aktivitas berkebun ini.
Nasib tanaman warisan Ibu di tangan saya selama beberapa bulan pertama. Menyedihkan. |
Hingga suatu hari, saya menaruh beberapa biji bunga telang di tanah begitu saja. Serta beberapa bibit kangkung. Ternyata setelah beberapa pekan, mereka tumbuh. Saya dibuat kaget dan kagum. Dari sebongkah biji-bijian, bisa tumbuh menjadi tanaman dengan batang dan daun sejati. Sangat rewarding. Maka begitulah. Tahun ini, saya bisa bilang, kalau saya mulai jatuh cinta dengan berkebun.
Saya jadi ingat. Satu kali waktu masih SMP, saya pernah mencoba mencangkok pohon melati kacapiring. Waktu itu diajarkan di sekolah dan saya iseng mencoba. Dengan telaten, saya merawat tanaman cangkok tersebut hingga setelah beberapa pekan, tumbuh akar dan tanamannya bisa ditanam kembali. Sepertinya itulah kali pertama saya berhasil menumbuhkan sesuatu dengan tangan saya (tentu saja berkat izin Allah). Setelah itu, Ibu sering memuji keberhasilan tersebut hingga menyuruh saya mencangkok beberapa tanaman lain untuk diperbanyak sendiri atau diberikan kepada teman-teman Ibu yang meminta. Karena kalau Bapa yang mencangkok, katanya rawan gagal (ha-ha). Omong-omong, sampai sekarang tanaman melati kacapiring hasil cangkokan saya masih ada dan rimbun di pekarangan rumah Bapa. Saya berencana mengambil beberapa batang anakannya untuk saya tanam di rumah kami sebagai kenang-kenangan.
Pasca panen kompos pertama itu, saya mulai mencoba membongkar tanaman-tanaman itu sendiri - dibantu Ryu dan Raka hehe. Dari mana keberanian itu datang? Saya mulai menonton beberapa saluran Youtube yang menampilkan metode merawat berbagai tanaman. Dimulai dari bunga telang, akhirnya saya mencoba menanam bunga matahari, seledri, daun bawang, Philodendron, Aglaonema, bahkan.. Calathea! Oh, Calathea ini sangat spesial. Hanya ada dua di rumah Ibu dan saya ambil keduanya tanpa mengerti cara merawatnya.
2021, Calathea dan Aglaonema warisan Ibu masih sehat. Namun mulai tampak tanda bahaya. |
2024. Kita coba rimbunkan lagi. |
Kini, dari satu pot yang amat rimbun dan cantik, jadi empat pot kecil yang lumayan sehat. Mereka cukup jatuh bangun karena saya kurang pengetahuan. Pernah diserbu ulat juga. Pernah kekeringan dan kepanasan karena ternyata tidak boleh diletakkan di tempat yang terlalu terik. Bapa tidak terlalu tahu soal tanaman hias. Karena Bapa lebih santai lagi (ha-ha). Di pekarangan rumah Bapa yang luas, ibaratnya kita buang biji ke mana saja, maka mereka akan tumbuh. Alam yang merawatnya. Kompos alami datang dari daun-daun yang berguguran. Pupuk hewani dari ayam yang berlarian di sekitar situ. Hujan dan sinar matahari datang bergantian tanpa harus memindahkan tanaman. Rejeki Bapa, sekarang ada banyak labu siam, melinjo, bulustru, leunca, alpukat, rambutan, bahkan mangga kweni (limus) setiap musim panen. Bapa tidak pernah kekurangan bahan makanan alami.
Lalu apa yang saya dapat dari hobi baru ini? Pertama, saya jadi makin peka akan kebesaran Allah SWT. Bayangkan, ada banyak beraneka ragam cara tanaman memperbanyak diri dan terus hidup. Ada yang dari biji, ada yang bertunas, ada juga yang bisa tumbuh begitu saja walau dipotong-potong asal diletakkan di tempat subur. Dan mereka hidup dalam siklus. Saat daunnya gugur, mereka bergabung dengan tanah tempat mereka tumbuh lalu ikut menumbuhkan tanaman yang tersisa di atasnya. Sama sekali tidak ada yang terbuang. Keberadaan mereka juga berkah bagi organisme yang lain. Ulat, belalang, siput. Menjadi sebuah ekosistem yang dapat diamati.
Ada belalang! |
Siapa yang bisa belajar langsung dari siklus kehidupan ini? Anak-anak kita!
Dan ada hal lain yang baru saya sadari belakangan juga. Dulu, saya melihat tanaman tak ubahnya seperti kabel listrik yang semrawut di atas bangunan-bangunan atau di pinggir-pinggir jalan. Keberadaannya sangat mudah diabaikan. Biasa banget, kan, ada pohon, atau ilalang pinggir jalan. Dan mereka terlihat sama saja. Sekarang? Saya mulai bisa melihat perbedaan kecil di antara mereka. Ada daun yang besar dan bergerigi, dengan warna yang ternyata coraknya berlainan, ada batang pohon yang dipenuhi garis-garis usia, ada burung yang sedang bersarang, bahkan capung dan kupu-kupu yang berlalu lalang menjadikan mereka sebagai rumah.
Anak-anak ikut merawat tanaman. |
Kita bisa melihat lebih dekat kebesaran-Nya.
Saya jadi teringat Ibu. Dalam hal kegemaran, tidak banyak kesamaan kami. Di masa mudanya, Ibu memang membaca, menggambar dan menulis juga. Akan tetapi setelah ada kami bertiga, tidak banyak dari ketiga hal tersebut yang beliau lakukan. Beliau lebih suka berkebun sebagai sarana penghiburan dari penatnya dunia. Saya ingat puluhan pot mawar kesayangan ibu, aneka jawer kotok (miana) beragam warna dan jenis, kuping gajah sebesar badan orang dewasa, juga pernah ada koleksi kaktus. Semua dirawat dengan baik. Saya pun baru memahami asyiknya hal ini di usai yang kurang lebih sama dengan Ibu. Saya berandai-andai jadinya:
Jika saja saya memulai lebih cepat, kami akan punya obrolan yang menarik, bukan?
Sayang, sekarang Ibu sudah berpulang.
Jadi, para pembaca yang baik hati, jika orangtuamu masih ada dan anda merasa tidak punya “ikatan” yang bisa mengembalikan keakraban dengan mereka selain urusan-urusan transaksional ibu/bapak dan anak.. kini saatnya untuk memulainya. Jika Ibumu suka merajut, minimal kita bisa tertarik pada rajutan-rajutan yang indah tanpa harus ikutan merajut juga. Jika Bapak suka merawat kucing dan kita tidak, minimal kita mulai street feeding kepada kucing-kucing liar yang kita temui. Jika Nenek suka mendengarkan dongeng Wayang, paling tidak kita bisa letakkan ponsel kita dan mulai mendengarkan cerita-ceritanya. Dan sebagainya. Jangan sampai menyesal karena tidak mengusahakan hal ini saat mereka (atau kitanya) keburu berpulang.
Wallohu’alam.
No comments:
Post a Comment
WOW Thank you!