28.3.19

Norak, Oh, Norak

Tersentil tulisannya Tere Liye di FB beberapa hari lalu, saya jadi ikut-ikutan ingin menyoal tentang drama per-norak-an ini. Ya. Beberapa hari lalu telah dilangsungkan uji coba MRT (Ratangga) di Jakarta. Kabarnya, sampai 31 Maret ini, dia masih gratis. Saya? Saya mah anak Bekasi. Pan-kapan aja nyobanya. Membayangkan penuh sesaknya, belum lagi drama rebutan kursinya, saja sudah bikin ogah. Tidak. Saya kurang suka konflik-konflik di tempat umum seperti itu.

Nah, balik lagi ke soal tadi. Karena masih gratis, maka berduyun-duyunlah masyarakat jabodetabek (dan luar kota) yang penasaran. Mereka datang untuk ikut mencoba “wahana” yang satu ini. Siapa saja masyarakat ini? Banyak! Tidak hanya milenial kelas pekerja saja. Atau influencer yang ingin eksis. Atau sosialita yang curi-curi kesempatan nampang dengan pejabat yang datangnya hanya sekali itu. Tetapi juga anak-anak dan emak-emak. Yang, anggaplah, belum pernah naik MRT sama sekali. Norak, katanya.

Illustration by me.

(Hmm sebenarnya sebagian besar kita juga belum pernah, ‘kan? Iya memang ada di Malaysia. Atau Singapura. Tapi yang pernah ke luar negeri pun banyak yang mengandalkan Grab ke mana-mana. Jadi tidak tahu tentang MRT).

Kemudian beredarlah foto-foto anak dan emak dan bapak yang katanya norak ini. Norak, karena menganggap arena MRT seperti Taman Kota yang bisa dibuat tempat piknik-piknik. Atau buat gelantungan seperti di kandang Bonbin. Norak, karena mereka membuang sampah tidak pada tempatnya. Juga norak-norak lainnya yang aduhai, sesungguhnya sangat tidak bisa ditolerir.


Selain kecaman dan rundungan, yang miris dan bernada menghakimi itu, tak sedikit juga beredar pembelaan: “wajarkanlah, maklumilah, kita juga mengalami banyak momen pertama kali yang norak di mata orang lain”. Well, hello. Norak planga-plongo dan norak buang sampah sembarangan adalah dua level kenorakan yang tidak sama. Bisa lah, kita memaklumi kalau orang celingak-celinguk karena belum hapal prosedur. Kadang mau bertanya pun keki. Tapi buang sampah sembarangan? Ini mah, tidak harus di MRT: di tempat-tempat lain juga aturannya sama!

Maka saya jadi teringat beberapa hal: betapa sulitnya mengingatkan orang akan pentingnya buang sampah pada tempatnya, kita juga pernah celingukan di momen-momen pertama kali semacam itu, dan budaya perundungan (bullying) yang ternyata tidak hanya dilakukan anak usia sekolahan tetapi juga netijen yang budiman itu.

Celingukan di Momen Pertama Kali

Pertama kali memakai eskalator adalah waktu saya SMA. Karena memang di Sumedang ‘gak ada! Ha-ha. Ibu waktu itu mengajak saya ke Pasar Baru Bandung. Bukan main deg-deg-annya tiap naik dan turun eskalator. Takut sendal ketinggalan lah, takut jatuh lah, dsb. Sampai beberapa kali kemudian, rasa kikuk ini masih ada. Untungnya waktu itu belum zaman orang bebas memvideokan siapapun di manapun.

Yang kedua, pertama kali naik pesawat. Untungnya, pesawat pertama saya Garuda. Sudah paling canggih, deh, waktu itu. Karena ada entertainment screen juga. Saya dan teman waktu itu celingukan karena tidak mengerti prosedur check in, boarding, duduk tertib di pesawat, cara mempergunakan entertainment screen (waktu itu bingung karena headphone-nya dibungkus plastik bersegel; saya kira itu dijual!), bahkan cara menggunakan toilet pesawat. Yang terakhir ini baru saya berani pakai setelah beberapa kali penerbangan. Untungnya lagi, di momen pertama itu, selain belum musim kamera tersembunyi, di sebelah kami ada orang baik hati yang “mencontohkan” tanpa mencemooh. That’s the best form of kindness, terutama di zaman serba gengsi nanya ini. Oh, ya. Orang lebih baik nanya Google dibanding orang beneran, bukan?

Pelajarannya: mengapa kita tidak menahan diri untuk memvideokan atau memfoto kenorakan momen pertama kali ini dan memberikan contoh diam-diam saja? Kalau memang tidak punya nyali memberitahu/menegur langsung?

Budaya Perundungan di Media Daring

Kalau zaman sekolah, dirundung bisa membuat kita sedih sampai tidak ingin masuk sekolah lagi, zaman sekarang efeknya lebih dahsyat: kadang ada orang yang saking malunya jadi tidak ingin hidup lagi. Mengerikan sih. Tapi jempol netijen memang lebih tajam dari lidah (yang lebih tajam dari pedang itu). Padahal, perbuatan merundung itu super duper rendah. Parahnya, jika zaman sekolah, kita sudah merasa lega dengan tidak ikut merundung dan bukan kita yang dirundung, maka zaman sekarang kita lega jika ikut merundung karena kita merasa lebih “bermoral” dibanding yang dirundung.

Pelajarannya: jika keinginan merundung sudah tak terbendung, ingatkan diri sendiri untuk cukup merundung dalam hati saja. Jangan nodai jempolmu!

Betapa Sulitnya Mengingatkan Orang untuk Membuang Sampah pada Tempatnya

Apalagi jika tempatnya itu tidak terlihat di sekitar situ. He-he. Orang seringnya terlalu malas mencari tempat sampah. Padahal di tempat umum, apalagi stasiun, masa sih tidak ada tempat sampah? Okelah, lupakan dulu tentang pemilahan sampah organik anorganik yang katanya membingungkan itu (wong warnanya tidak standar, sosialisasinya pun belum maksimal). Ini masalah edukasi. Dari SD diajarkan seperti itu. Tapi sudah besar? Betapa tersinggungnya orang-orang yang diingatkan untuk buang sampah pada tempatnya. Yang ini saya pernah mengalami sendiri sih.

Ada tuh, teman saya yang pulang-pergi ngantor menggunakan mobil jemputan yang sama. Di sepanjang jalan, dia selalu buang sampah ke jalan raya. To make it even worst, jalan yang dilalui itu sepi. Pinggir pantai. Tidak bakalan ada petugas kebersihan kota yang lalu lalang di sekitar situ mengumpulkan sampah. Yah, walaupun ada, etikanya, masa sih buang sampah sembarangan ke jalan raya? Nih orang kalau ditegur pasti cuek bebek. Saya pun berhenti menegur. Orang seperti ini otomatis saya masukkan ke daftar hitam.

Pelajarannya: orang dewasa sudah sangat susah ditegur, terutama untuk tabiat dasar sesederhana kebiasaan membuang sampah sembarangan. Maka daripada keki, berhematlah menegur langsung. Ada petugas. Adukan saja. Ini bukan sekolahan dimana si tukang ngadu akan dimusuhi anak-anak sekelas dan dituduh tidak asyik. Ini tentang ketertiban umum.

Setidaknya tiga hal itu perlu kita timbang masak-masak sebelum menuding orang lain norak, atau berupaya “menyembuhkan” kenorakan itu. Ini menurut saya saja, sih. Di zaman dimana empati adalah barang langka, setidaknya kita tidak memperburuk suasana dengan mengambil langkah emosional dengan merundung orang. Apalagi di internet. Bayangkan, jika orang itu adalah keluarga kita. Ya kalau anak sih, mungkin bisa ditegur. Tapi kalau orang tua? Yang ada kita malah jadi marah pada si perundung. Malu. Lalu terbang ke luar negeri. Ganti nama. (Penulis kebanyakan nonton filem spionase, nih).

Mari lebih bijak. Norak itu tergantung bagaimana sudut pandang kita, kok.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!