12.3.19

Masih Butuh Bapa dan Ibu

Bapa

Kemarin, Bapa genap berusia enam puluh tahun. Iya. Sudah memasuki usia lansia alias lanjut usia. Berkat pensiun dininya yang menyebabkan beliau kembali menggarap tanah dan kebun, Bapa belum berhenti bekerja sampai sekarang. Bapa yang selalu tampak “muda” dan gagah di mata kami semua anaknya. Tidak pernah ada gurat letih sedikit pun. Juga tidak ada keluhan berarti yang terlontar dari lisannya. Sampai suatu hari saya tidak sengaja mendapati beliau sedang ganti baju. Oh, ternyata badannya sudah tak seprima dulu. Ada sedikit lipatan penuaan di sana. Juga warna tembaga berkat panggangan matahari selama bertahun-tahun. Tanda beliau pekerja keras selama hidupnya.

Bapa, Eneng, Aa, Ibu dan Ajang. Circa 1996.

Kalau mendengar cerita masa kecil beliau, rasanya suka malu sendiri. Walaupun kami tidak kaya, tapi hidup kami cukup-cukup saja. Senang-senang saja. Sekolah juga lancar. Sedangkan Bapa, untuk sekolah saja harus rela jalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya setiap hari. Kadang mengayuh sepeda tuanya, sambil jualan gorengan. Padahal kecerobohannya membuat beliau sering jatuh dan luka. (Kadang sekarang pun saya sering mendapati luka baru di badannya: bekas teriris golok di tangan, bekas tersabet kampak di kaki, dsb.). Hebatnya, beliau tetap jadi si nomor satu di STM itu.

Kami tiga bersaudara, besar dan tumbuh dalam lindungannya. Bapa tidak selalu banyak bicara. Kerjanya kena shift. Jadi di rumah lebih banyak tidur. Tapi sekalinya libur dan mendongeng apa saja, pengalaman sehari-hari di tempat kerja atau apapun, lucunya bukan main. Cerita-cerita sederhana yang penyampaiannya selalu membuat kami terpingkal dan selalu kami tunggu.


Bapa. Waktu berumur 58.
Waktu kecil saya senang bermanja pada beliau. Bukan bermanja bagaimana. Sesederhana, pura-pura ketiduran di ruang TV, supaya Bapa membopong saya ke kamar. Sekali waktu ketahuan dan kami berdua tertawa keras-keras. Atau pura-pura sakit perut karena ingin punggung saya digosok handuk. Orang Sunda bilang namanya “digedog”. Sering juga kami mengganggu beliau saat beliau tidur sepulang shift malam. Bapa tidurnya tengkurap. Jadi punggungnya memang arena bermain dan senderan bagi saya dan adik.

Untung Bapa tidak pernah marah.

Bapa sudah enam puluh tahun, kemarin. Tentu kegiatan itu tidak satu pun kembali dilakukan. Tetapi mengenangnya selalu mengguratkan senyum. Sebalnya, masih susah meminta beliau berhenti merokok. Ya, walaupun beliau hanya merokok satu kali sehari. Atau jika sedang berkebun. Semoga Bapa sehat selalu. Kini beliau sudah jadi seorang Kake. Cucunya sudah berat-berat. Tapi seperti biasa, Bapa tersenyum senang menghalau rasa pegal di badan ketika memangku para cucu ini. Yang penting si cucu betah.

Bapa menimang cucu pertamanya, anak Aa.
Ibu

Sering sakit-sakitan dari dulu tidak membuat beliau menyerah. Semangat dan kegigihannya bahu-membahu dengan Bapa agar kami bertiga bisa sekolah sampai sarjana, tiada duanya. Tak terhitung berapa banyak cibiran mampu dihalaunya. “Ngapain sih, sekolah tinggi-tinggi, paling juga nanti jadi sarjana pengangguran”. “Kalau tidak mampu nyekolahin, ya berhenti. Ini di desa. Semua bisa hidup walau tidak sekolah.

Ibu. Ketika sedang sehat, badannya besar. Kalau sakit, bisa mengurus drastis.
Dan ribuan cibiran lainnya. Untungnya, sejak menikah dengan Bapa, Ibu dan Bapa memang sudah satu visi misi. Bagaimanapun anak-anak mereka harus jadi sarjana. Betapa itu adalah sebuah cita-cita luhur nan mewah di desa kami yang untuk lulus SD saja anak-anaknya masih tertatih-tatih dan guru-gurunya harus gigih membujuk para orang tua murid itu. Beruntung, Ibu dan Bapa adalah satu dari sekian banyak lulusan SMA dan STM di desa kami. Langka sekali waktu itu. Ini yang kami contoh dari Ibu dan Bapa: persistensi. Juga bahwa kesamaan visi dan misi pernikahan itu penting sekali.

Walaupun hampir selalu di rumah, Ibu adalah ibu yang super sibuk. Mengurus rumah tangga sekaligus membantu Bapa mencari uang mencapai cita-cita mereka menyekolahkan kami. Iya, ibu saya ber-“kantor” di rumah. Menjahit, berdagang, juga salon lokalan. Makanya, kalau saya dan adik  bertengkar pun, beliau masih bisa menangani dan memarahi. Beliau memang tidak selalu punya waktu bermain dengan kami, tapi entah kenapa kami bisa membaca dan mengaji. Semua diajari oleh beliau. Entah bagaimana prosesnya. Kapan-kapan saya mau tanya, ah.

Ibu dan cucu pertamanya.
Sampai kini, lucunya, beliau masih menganggap kami anak-anak kecilnya. Masih ingat rasanya. Ketika saya masih bekerja di luar Jawa. Setiap kali terbang, saya mengabari beliau. Kalau tidak, beliau pasti khawatir. Mengingatkan saya ini dan itu. Tapi yang paling lucu adalah, Ibu suka sekali bertanya, “Sama siapa? Sendiri? Tidak takut?”. Dikiranya bepergian jauh sendiri itu berbahaya. Padahal saya sudah dewasa.

Beberapa bulan ini, ibu kembali sakit-sakitan. Sedih rasanya ketika tahu, dalam keadaan itu, Bapa-lah yang akhirnya mengerjakan semua tugas domestik. Budaya di keluarga kami memang berbagi, sebenarnya. Tidak penting siapa yang mencuci, menyetrika, menyapu, merawat anak, atau mengurus kebun. Yang penting semua selesai. Namun memasak adalah hal lain. Tidak semua bapak-bapak sepandai pak Juna atau pak Arnold (itu mah, chef, he-he). Sempat saya tinggal di rumah beberapa hari untuk mengerjakan tugas yang ini. Amboi. Ternyata berat juga. Baru segitu. Bagaimana dengan mereka yang mengurus kami selama puluhan tahun ini?

Bapa dan Ibu

Umur saya sekarang hampir tiga puluh. Dulu saya selalu berpikir bahwa setelah menikah, ibu dan bapa seharusnya “berhenti” merawat saya. Ternyata, jauh sekali. Jauh. Saya masih membutuhkan mereka. Sesederhana, minta hasil panen Bapa (ubi, pisang, apapun yang ditanam Bapa) saat pulang kampung. Atau, minta ibu memasakkan lauk untuk bekal kami makan di jalan. Lalu, kalau sakit, yang duluan repot tetap orang tua. Belum lagi, sering direpotkan dengan para cucu. 

Saya sering menyuruh Bapa dan Ibu berpose lebih natural, tidak seperti KTP. Tapi sepertinya Ibu selalu kikuk. Dan Bapa jadi tengsin sendiri.
Kalau sedang bepergian bersama mereka, kadang terharu sendiri. Dulu, mereka lah yang mengantar kami ke mana-mana. Ke TK, ke tempat les, ke tempat wisata. Bahkan saya, waktu mau interview kerja di beberapa tempat saja, survey tempatnya pasti diantar Ibu atau Bapa. Kadang keduanya. Selalu alasannya karena saya anak perempuan. Sekarang, kami lah anak-anaknya yang mengantar mereka ke mana-mana. Menjaga mereka yang semakin sepuh. Meyakinkan mereka bahwa semua baik-baik saja pada saat mereka kikuk dalam mencoba hal baru.

“Pak, nanti di bandara check in-nya caranya begini, tunjukkin ini dan ini.”
“Bu, nanti ke supirnya bilang begini dan begini ya”.
"Kalau mau menyimpan gambar di Whatsapp itu caranya begini, Bu."

Padahal itu semua dulu terbalik. Mereka sudah lebih dulu mengajari kita bahwa semua baik-baik saja walaupun kita belum familiar terhadap sesuatu.

Ibu dengan Whatsapp. Tidak bisa dipisahkan sekarang.
Beruntungnya kami. Kadang kita komplain akan kekurangan mereka. Mengapa sih mereka tidak bisa melakukan ini dan itu? Padahal mungkin kalau mau geregetan, mereka sudah geregetan duluan waktu kita kecil susah diajari. Atau susah dikasihtau. Mengapa sih mereka selalu menasihati kita seolah-olah kita tidak mengerti apa-apa? Padahal sebanyak apapun pengetahuan kita, mereka tetap lebih mengerti banyak hal dibanding kita - jelas, mereka lebih tua. Apalagi tentang kehidupan.

Selalu senang melihat tawa lepas Bapa dan Ibu. Diambil saat Lebaran tahun lalu.
Sesulit itu menjadi orang tua. Saya disadarkan akan satu hal. Bahwa menjadi orang tua adalah komitmen seumur hidup. Bukan hanya sampai anaknya dewasa atau menikah. Ketika Ibu dan Bapa memutuskan bersama dan berkeluarga, mereka sadar bahwa tidak ada ruang untuk kembali seperti saat mereka muda dan bebas. Bahkan sampai sekarang. Saya masih saja merepotkan mereka. 

Pertanyaan selanjutnya, siapkah saya (dan husbando)? Menjadi Bapa dan Ibu bagi anak-anak kami.  Meneruskan cita-cita Bapa dan Ibu. Juga, Mamah dan Papah. Semoga saja. Bismillah, ya.

Bapa dan Ibu suatu hari, di Padang.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!