13.5.19

Overheard Womanhood

“Teteh sekarang masih kerja?”
“Oh, enggak. Sekarang ikut suami.”
“Tuh, ‘kan. Ujung-ujungnya cewek mah di dapur.”
“Iya, harusnya ‘gak usah mahal-mahal sekolahin ya? (Senyum sinis)”
“He-he.. (Senyum salting)”.

2019 gitu lho. Tadinya saya tidak mau (dan sesungguhnya tidak perlu) emosi mendengar hal semacam ini dilontarkan. Tapi ternyata ini cukup merusak mood. Jadi daripada hal ini menggerogoti kehidupan, sebaiknya saya meracau saja di sini.

Illustration by me.

Saya memikirkan banyak sekali versi jawaban jika skenario itu muncul langsung di hadapan saya. Sayangnya, itu terjadi beberapa kali di depan ibu. Which is, rasanya lebih menyedihkan daripada dialami dan harus dijawab sendiri.

Versi jawaban pertama, saya akan bilang kalau, “Kerja ‘kan tidak harus di luar rumah.”

(Tapi ini denial, karena saya tidaklah se-“bekerja” itu sekarang).


Versi jawaban kedua:
Ya at least saya ‘gak went straight to the kitchen begitu umur saya 18 tahun. Saya bersyukur mengalami banyak sekali hal - seperti kerja kantoran, bisa foya-foya dulu - sebelum masuk dapur. Dan saya masih bisa mengulanginya kapan saja kalau saya mau. Pilihan saya lebih luas dibanding jadi ART atau buruh pabrik”.

(Ini cukup efektif, walaupun kesannya saya jadi merendahkan profesi ART atau buruh pabrik. Padahal maksud saya sama sekali ‘gak begitu. Maksudnya, kalau pendidikan & pengalaman  lumayan, pilihan di depan menjadi lebih banyak).

Versi ketiga?
“(Senyum dulu) Alhamdulillah, bekerja di luar rumah atau tidak, yang penting suami saya ridho.”

(Ini versi sholehah yang zaman sekarang, jika didengar si pelontar komentar di atas mungkin lebih terdengar seperti naif).

napas panjang -

Hey para wanita. Sesungguhnya saya tidak habis pikir. Ini udah jau...h melampaui era Kartini. Jadi sesungguhnya saya sudah tidak perlu mengulang omongan atau tindakan Kartini supaya para wanita mengerti pentingnya pendidikan.

Wanita boleh bersekolah atau tidak. Itu bisa bergantung pada prioritas dan pilihan masing-masing. Yang menyebalkan itu, jika pilihan semua orang harus sama. Jika kita melihat orang lain dengan kacamata yang sama. Padahal kondisi dan kebutuhan orang beda-beda. Tidak adil dong, menghakimi orang lain seenaknya begitu.

Ada yang sukses tanpa harus capek-capek sekolah. Ada juga yang harus sekolah tiga tingkatan sebelum meraih posisi tertentu (ya kali dokter atau dosen sekolahnya sampai SMP saja). Semua lagi-lagi tergantung kebutuhan dan nasib. Jika seseorang ingin jadi wanita karier namun suatu saat memutuskan untuk “kembali ke dapur”, well, tidak ada masalah, bukan? Kecuali kalau saya pengen langsung di dapur saja. Ya akan jadi percuma (kali) kalau sekolah tinggi. Padahal, believe it or not, it takes a smart mother to teach smart kids - itu juga kalau anda berencana berkeluarga selain masuk dapur doang.

So, ayolah. Stop menjadi primitif. Tinggal di desa bukan berarti mindset tidak berkembang. Internet sekarang jangkauannya sudah ke mana-mana. Apa susahnya, sih, pake smart phone-nya untuk browsing hal-hal yang berguna, misalnya mengapa perlu sekolah rada tinggi, belajar ilmu-ilmu terapan kalau malas sekolah, dsb. Ya.. ketimbang ngabisin waktu buat bikin status Whatsapp atau melototin FB sambil ngemis-ngemis “like back” atau ngupload selfie dengan caption “nitip”?

Ugh.

Mari lebih menghargai pilihan orang lain. Apalagi sesama wanita. Jangan menghakimi dan mengadili dengan kacamatamu sendiri. Lap dulu, siapa tahu kacamatamu kotor.