22.10.13

A System Failure

Apa yang anda pikirkan ketika mendengar istilah "akselerasi"?

Anda yang lulusan teknik mesin, atau paling tidak, menyenangi bidang otomotif tentunya sudah tak asing lagi mendengar kata tersebut. Menurut salah seorang teman saya yang malang melintang di dunia permesinan dan otomotif, akselerasi berarti "perubahan kecepatan, atau percepatan". Hmm hal ini sebetulnya tak jauh berbeda dengan makna istilah tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

akselerasi /ak·se·le·ra·si/ /aksĂ©lerasi/ n 1 proses mempercepat; 2 peningkatan kecepatan; percepatan; 3 laju perubahan kecepatan (http://www.kbbi.web.id/).


Ketika saya bertanya lebih jauh, teman saya ini melanjutkan bahwa semakin tinggi akselerasi suatu kendaraan, maka semakin baik karena dibutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk mencapai suatu tempat, dibandingkan dengan kendaraan lain dengan akselerasi lebih rendah. Terdengar seperti hal yang bagus bukan? Karena zaman sekarang ini, yang katanya globalisasi, semua hal dianggap tidak berhasil kalau tidak cepat. Cepat pun, tentunya cepat yang berhasil. Bukan cepat yang gagal. Lah emangnya ada "cepat yang gagal"?



***


Saat saya menulis ini, saya baru saja pulang kerja, ketika tiba-tiba teringat obrolan saya dengan salah seorang teman lama saya tempo hari (untuk teman yang ini, kita sebut saja dia sebagai "D"). Saya lupa waktu itu sedang membicarakan apa tapi tau-tau saja kami jadi membicarakan masa SMA kami. Kebetulan saya dan D waktu SMA pernah sekelas walaupun sangat singkat.

Me     : lucu jg lho klw smw anak aksel angkatan kita nuangin ceritany msg2 (dl aq prnh pny ide itu).
D       : sorry jiddan, otak ana agak konslet kyknya, ingatan ana lg ngeblank #kacaubalau
Me     : klw diceritain pjg.mngkn butuh 1 postingan sndiri d blog.​:D yg jelas,80% dr qt g puas d axl.
trus 20% bahkan "mengubur" ingatan mrk,dgn g ngaku klw mrk prnh axl,atw "menjauhi" kumpul2 axl.org2 yg dl trlihat menikmati axl-
pas ketemu lg jaman kuliah,trnyata mrk jg menyimpan ketidakpuasan.namun mrk g nunjukin/berontak.mngkn cm 1% yg bangga jd ex-axl ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
D       :  1% siapa? ana? hhhhh g mungkin jmlh aksel g smp 100, berarti 1% cuma kepalanya aja *ah-bodoh-bgt-ni-orang-mahamin-twitmu*
pak DIS bilang, menyalurkan sakit hati dgn cara positif, Keren, Hebat! that's point for me...
Jika dipikir-pikir, pola pikir ana termasuk aneh kali ya, kebalikan 180 derajat dr yang lain, hmmmm.... bagus g ya?
Me     : blm nangkep nih..jd ****** trmasuk yg 1% itu?he2.gpp,sayapun,wlopun mrasa itu kputusan yg salah,tp imbasnya baik u/ masa kini.:)
      : Tiap orang punya jalannya masing2, punya takdirnya masing2, tdk perlu mnyalahkan sistem/klas, krn memang Dia tlah merencanknnya.

Sampai situ giliran saya yang terdiam.

Betul. Saya adalah orang yang 20% itu. Saya adalah orang yang mengubur ingatan atau status saya sebagai lulusan kelas akselerasi. Saya adalah orang yang sampai saat ini masih berpikir jika mengambil "kesempatan" sebagai siswa akselerasi waktu SMA adalah salah satu keputusan saya yang paling buruk. Saya adalah orang yang berpikir bahwa sebisa mungkin orang tidak perlu tau masa lalu saya yang itu. Dan saya adalah orang yang merasa bahwa menjadi alumni kelas akselerasi adalah kebodohan.

Baik. Paragraf yang terakhir itu sudah sangat berlebihan.

Mari kilas balik sedikit. (kalau ada yang masih kuat baca ya silakan..monggo..). Waktu SMP (sampai sekarang) saya punya hobby baca komik detektif. Salah satu buku favorit saya adalah Q. E. D (karangan Motohiro Katou). Tokoh utamanya yang bernama Sou Toma adalah favorit saya. Sou Toma ini umurnya baru 15 tahun, tapi dia sudah menyelesaikan kuliahnya di MIT (yes, that one). Waktu itu, otak labilku berpikir, "wah, sungguh keren jika benar ada yang bisa seperti itu". Ketika memasuki masa SMA ternyata aku diberitau bahwa kelas seperti itu memang ada!

Waktu itu seleksi untuk murid akselerasi lumayan ketat. Sebagai saringan awal, kami semua diikutsertakan dalam tes psikologis. Kemudian, dari hasil test psikologis itu, terpilihlah beberapa puluh orang yang diikutkan test selanjutnya, yakni test akademis. Sekedar tambahan, mereka yang diikutkan tahap kedua ini adalah mereka dengan IQ di atas 129. Saya kurang paham mengenai test psikologi. Saya juga tidak tau skala yang mereka gunakan seperti apa, dan apakah lembaga tersebut benar-benar valid. Yang pasti, waktu itu saya merasa di atas angin ketika mengetahui bahwa IQ saya 143.

Hal itu sedikit banyak mempengaruhi keputusan saya untuk masuk akselerasi.

See? Betapa labilnya saya saat itu. Bayangkan. Umur 14 tahun waktu itu, dan diberi pilihan yang terlihat menggiurkan (di komik memang kelihatannya menggiurkan), untuk memutuskan memilih masa depan. (sampai titik ini saya akhirnya tahu kenapa yang namanya "remaja" itu sangat butuh pendampingan orang tua, terutama berkaitan dengan masalah-masalah "masa depan" seperti ini). Salah saya adalah, saya bukan seorang penurut-nasihat-orang-tua yang baik.

Maka masuklah saya ke dalam "kubangan" yang disebut akselerasi, angkatan pertama.

Dua puluh empat jumlah kami waktu pertama kali masuk. Saya ingat betul. (Kalau anda bertanya mengenai urutan tempat duduk kami waktu itu pun saya yakinkan anda kalau saya masih ingat). Lantai dua, di kelas yang baru dibangun - cukup luas untuk kami ber-dua puluh empat - lantai putih, papan tulis putih dan spidol (saat itu, ini hal yang mewah), dan kipas angin.  Waktu itu guru kami memberi sambutan ala kadarnya, semacam "selamat datang, kalian adalah orang-orang terpilih". Waktu itu kami digadang-gadang kalau 90% dari kami harus bisa jadi mahasiswa PTN Favorit. Waktu itu aku salah satu orang yang tergiur karena aku ingin masuk arsitektur PTN tersbut (pada akhirnya saya tidak jadi mahasiswa di sana, karena saya tidak pernah mencoba).

Oke, saya rasa saya harus mempercepat jalan cerita.

"Dunia tidak semanis yang kau kira" itu,benar-benar ungkapan yang tepat waktu itu. Perlahan-lahan semua cacat cela terbongkar. Dimulai dari perselisihan antara guru IPA dan IPS, yang diperparah dengan tindakan salah satu murid akselerasi yang menulis "untuk apa kita belajar IPS padahal pas kerja kita gak bakalan perlu itu semua" di papan tulis kelas sebelah (sampai tulisan ini ditulis, saya masih belum tau siapa gerangan yang menulis tulisan tersebut). Kemudian ada dua orang murid yang jarang masuk kelas dan membuat para guru kalang kabut. Lalu, ada guru yang marah karena tidak kebagian sate (yak! sate!) saat acara pemotongan hewan Kurban di sekolah. Ada pula guru yang menuntut terlalu banyak seperti mengharuskan kami membuat gerakan senam aerobik sendiri, atau latihan tari setiap hari (this was supposed to be fun, but no). Ulangan harian benar-benar ulangan "harian" karena diadakan hampir setiap hari. Para guru keteteran mengejar target penyampaian materi sementara para murid kelimpungan mencerna pelajaran.

Di tengah jalan, satu orang memutuskan untuk kembali ke kelas reguler karena dia ingin masuk jurusan IPS (ohiya, kelas akselerasi yang kami masuki ini dikhususkan untuk jurusan IPA). Kemudian, satu orang lagi dipindahkan ke kelas Standar Internasional (yang sama-sama baru terbentuk bersamaan dengan kelas akselerasi di SMA kami). Orang ini kemudian menghilang sampai akhirnya saya mendengar kabar darinya setelah bertahun-tahun kemudian. Rupanya dia pindah sekolah.

Hal tersebut membuat beberapa dari kami terang-terangan merasa jengah. Masa SMA yang seharusnya menyenangkan, diracuni dengan beban mental yang berlebihan. Tak ayal lagi bahwa saya adalah salah satunya. Berminggu-minggu kami merencanakan pengunduran diri kami walaupun pada akhirnya kami tidak jadi bicara pada guru kami karena kami tidak berani! Akhirnya, kami melancarkan aksi "mogok belajar". Tak diragukan, itu semua kami lakukan agar kami dikeluarkan dari akselerasi.

Semester empat pun berakhir dan orang tua kami dipanggil. Kami diurutkan dari nilai terbesar ke nilai terkecil. Sungguh suatu luka yang sampai saat ini belum sembuh karena waktu itu aku ditaruh di  peringkat paling bawah alias nomor 17, dan itu adalah gara-gara gurunya salah menjumlahkan nilai! Saya tidak bohong soal ini. Walaupun saya sempat mogok belajar, akan tetapi saya tidak terlalu bodoh untuk menghancurkan nilai rapor saya sampai menjadi peringkat terakhir. Berulang kali saya memeriksa rapor teman yang lain (yang sebenarnya punya nilai di bawah saya) dan membicarakannya pada guru kami supaya nama baik saya dikembalikan, akan tetapi hasilnya NIHIL. (harusnya saya menyewa pengacara karena nama baik saya dicemarkan! haha). Bayangkan betapa sedihnya orang tua saya. Saat itu mereka malu. Dan mereka tidak percaya walaupun saya menjelaskan bahwa guru saya salah jumlah.

Puncaknya, pemotongan jumlah murid akselerasi secara besar-besaran. Tak tanggung-tanggung, 5 orang dikembalikan ke kelas reguler. Dan saya pada akhirnya tetap harus melanjutkan hidup (dengan sisa-sisa rasa malu saya karena menjadi peringkat terakhir).

Di bagian awal saya tuliskan, bahwa salah satu motivasi saya masuk akselerasi adalah karena saya ingin masuk arsitektur. Tapi lagi-lagi mimpi saya dihancurkan. Saya dianggap tidak mampu dan seharusnya saya memilih jurusan atau perguruan tinggi lain. Sedihnya, yang mengatakan itu adalah guru saya sendiri. Hal itu membuat saya terkatung-katung di semester akhir. Saya tidak tau apa yang saya inginkan. Saya tidak tau harus masuk jurusan apa untuk kuliah. Saya tidak tau akan menjadi apa nanti saya jika bekerja. Sempat terpikir untuk menjadi dokter. Namun orang tua saya saat itu sedang dalam masa resesi sehingga saya mengubur keinginan tersebut. Saya betul-betul tidak punya pegangan, atau siapapun yang bisa saya ajak bicara atau konsultasi. Saya kehilangan kepercayaan. Baik terhadap guru maupun terhadap diri saya sendiri.

Saya masih ingat jelas, waktu itu saya merengek pada ibu saya, supaya saya dibolehkan "beristirahat" selama satu tahun. Karena sungguh, saya ingin masuk arsitektur dan saat itu saya tidak punya cukup rasa percaya diri untuk ikut ujian masuk ke jurusan tersebut. Orang tua akhirnya mengijinkan, namun mereka tetap menyuruh saya untuk mengikuti SPMB, hanya sebagai bahan pengalaman. Saya memilih jurusan kimia, semata-mata karena hanya nilai mata pelajaran kimia-lah yang lebih bagus dibanding yang lainnya. Saya tidak ikut bimbingan belajar ataupun try out apapun. Saya hanya belajar sendiri, di rumah.

Dan ternyata saya lulus.

Saya terkejut. Namun di satu sisi saya senang karena siapapun tau bahwa lulus SPMB itu bukan perkara mudah. Satu tempat di jurusan kimia Unpad pun akhirnya saya kantongi. Saat itu saya jadi ingin tertawa. Mengapa orang yang justru para guru berpikir "the most unlikely to success" seperti saya malah mempunyai jalan hidup yang seperti sekarang saya jalani? Mengapa saya yang banyak sekali menyia-nyiakan waktu dan pikiran untuk "ke luar dari sistem" ternyata malah menjadi orang yang diuntungkan dengan sistem tersebut?

Saya jadi ingat waktu perpisahan SMA. Di saat semua guru meragukan saya, ada satu orang guru yang menyalami saya sambil berkata dengan sungguh-sungguh,

"Dewi, saya yakin kamu bakal sukses".

Waktu itu saya hanya tersenyum lemah. Saat ini, ketika mengingat hal tersebut, saya sering terharu. Pak Rahmat, guru matematika saya. Terima kasih sudah yakin pada saya di saat yang lain meragukan saya. Terima kasih telah meyakinkan saya bahwa saya masih bisa hidup, walaupun orang lain melihat saya sebagai orang sekarat.

***

Wow. Saya tidak menyangka bahwa saya akan begitu emosional mengungkapkan semua masa lalu saya. Sebenarnya, saya tidak bermaksud mempersuasi pembaca di sini bahwa akselerasi itu sistem yang salah. Tidak. Yang aku tangkap di sini, bahwa sekolah kami sebetulnya belum siap dengan keberadaan sistem yang menampung kami. Oleh karenanya kami menjadi prematur. Akselerasi yang seyogyanya memfasilitasi, bisa menjadi bumerang jika tidak dinaungi kepercayaan antara guru dengan murid, atau sekolah dengan sistem.

So.. jadi guru itu ternyata berat. Mungkin saja, saat itu saya memang sangat-sangat labil. Mungkin saja para guru bukannya tidak mau memikirkan masa depan kami. Saling mempercayai. Itu hal yang paling mendasar. Jika saja waktu itu saya percaya bahwa guru kami sebenarnya tidak cuek, atau jika saja para guru percaya bahwa saya belum gagal, mungkin ceritanya akan lain. Mungkin saya bisa bersyukur lebih banyak lagi. Bayangkan, berapa tahun waktu saya terbuang hanya untuk meratapi hal yang sudah lewat?

Saya tidak tau apakah saya akan menge-post tulisan ini. Akan tetapi jika anda membaca sampai sini, berarti saya sedang melepaskan diri dari bayang-bayang masa SMA saya yang jarang saya ingat-ingat itu. Move on itu memang sangat berat. Namun ketika anda berhasil move on, anda akan segera sadar bahwa rejeki yang lebih besar sedang menunggu anda. Allah knows best.

Tidak perlu menyalahkan sistem/kelas, karena memang Dia telah merencankannya.

So.. apakah saya termasuk "cepat yang berhasil" atau "cepat yang gagal"? Hehe. Saya masih hidup tuh, berarti saya belum gagal. Insya Allah. :)

*this was originally written on January 2013*

1 comment:

WOW Thank you!