Adab dulu, baru ilmu.
Kalimat ini sedang sering terngiang di telinga kita baru-baru ini. Ketika semakin banyak orang yang hijrah (alhamdulillah!) namun dampak hijrahnya ini berbeda-beda satu dan yang lainnya. Yang hijrah kemudian mengajak orang lain, banyak! Yang hijrah kemudian meneliti dosa orang lain, juga banyak! Bahkan dosa seorang ustadz yang bukan gurunya seperti yang ramai diperbincangkan kemarin. Tidak segan kita menguliti orang yang berbeda dengan kita tanpa ampun. Padahal edukasi tentang toleransi sudah diajarkan sejak SD. Budaya "main hakim sendiri" yang biasa disandingkan untuk orang-orang pelaku pengeroyokan saat ini sudah bergeser dari dunia nyata ke dunia maya: netizen. Kedoknya sama: hijrah. Bedanya, pengeroyokan di dunia nyata bisa bikin mati secara fisik. Kepada pencopet, kepada yang disangka pencopet, dan sejenisnya. Sedangkan di dunia maya, bikin mati secara psikis. Masa sih, hijrah malah membuat orang jadi hakim instan?
Amit-amit, yak.
Tapi ini 'kan menyampaikan kebenaran! Kilahnya. Ya anda sendiri, menyampaikan kebenaran dengan cara melukai perasaan orang, bahkan cenderung merundung (bully), menurut anda itu sudah benar? Eh tapi dialog ini 'gak beneran terjadi kok. Hasil menyimak juga. Hasil menghakimi juga. Hakim-ception. Hah!
Mohon maaf, tentu saya sama sekali tidak bermaksud "menguliti" fenomena hijrah yang sedang marak saat ini. Tentu saja hijrah itu hal yang baik. Konotasinya seharusnya positif, tidak negatif. Ilmu dari Google dan Youtube tidak selalu cukup. Banyak artikel dan video yang dipotong sehingga bisa menyesatkan penyimaknya. Ini nih, yang bikin para hakim instan muncul ke permukaan! Tidak ada hakim tanpa pencetus. Di dunia nyata juga 'kan gitu. Ada pencopet, ketahuan, ya digebukin. Sama saja.
Sumber. Ilustrasi oleh @tahilalats. |
Ya sih, semua orang katanya bebas berbuat dan berpendapat di internet. Tapi kadang gerah aja. Takut. Jangan-jangan saya juga gitu. Kalau 'gak pinter cek ricek, bisa-bisa ikutan tersesat arus penghakiman tersebut. Sehingga suami seringkali mengingatkan supaya saya tidak cepat berkomentar atau berburuk sangka. Alhamdulillah, komennya cuma dalam hati dan obrolan dengan suami aja haha (kecuali di sini, kalau ini bisa disebut komen). Kalau untuk komen di akun-akun itu, saya tidak berani. Saya tidak punya akun alias dengan foto profil artis Timur Jauh soalnya. Dan juga, buat apa? Tidak ada untungnya. Sama seperti saya menyimak pun, tidak ada untungnya.
Amit-amit (2).
Ya memang tidak ada untungnya, kalau saya menyimak hanya untuk cari bahan komentar. Bukan cari hikmahnya.
Sumber. Ilustrasi oleh Rosalina Lintang. |
Maka dari itu akhirnya beberapa pekan ini saya mulai ikut mengaji lagi. Perlu hengkang ke dunia nyata. Daripada sibuk mengamati dunia maya. Awalnya aktivitas mengaji ini hanyalah sebuah formalitas karena saya sudah resmi menjadi ibu-ibu komplek (hehe). Tadinya agak enggan juga karena piramida penduduk di sini tua. Artinya semua peserta pengajian hampir sebaya dengan orang tua kami. Ahem. Tak terhindarkan, banyak sekali ketakutan pada awalnya. Bagaimana kalau saya dihakimi? Bagaimana kalau saya dinasehatin terus? Bagaimana kalau kehidupan saya ditanya-tanyai? Bagaimana kalau ngajinya 'gak sesuai dengan yang biasa saya pelajari?
Namun setelah hipotesis (atau asumsi sih, soalnya gak saintifik sama sekali) itu saya singkirkan, dan membuka hati, ternyata.. alhamdulillah! Tidak seperti yang saya bayangkan. Memang, membaca shalawat dan berbagai dzikir lisan lainnya selalu dilakukan di awal dan akhir majelis. Membaca surat Qur'an tertentu juga. Agak ragu awalnya, karena saya tidak biasa mengikuti jenis pengajian seperti ini. Takut beda aja.
Ya ampun.
Belum apa-apa saya sudah menghakimi majelis ini. Saya kemudian istighfar. Sudah bagus ada majelis ilmu ibu-ibu, bukan arisan sosyelita yang saya 'gak akan pernah bisa pahami. Sudah keren ada ustadzah yang merintis silaturahim dan mengajari ngaji Qur'an kepada ibu-ibu lain di sekitarnya, bukan gerakan parpol yang saya 'gak akan pernah bisa tekuni. Dengan begitu, aktivitas menjadi ibu-ibu komplek menjadi lebih mungkin, bukan?
Sumber. Ilustrasi karya Benny Rachmadi. |
Tahu tidak? Yang 'gak saya duga sebelumnya, ternyata Ustadzah-nya adalah Ibu RT di komplek kami sendiri. Dan pasti bukan kebetulan, beliau tinggal persis di depan rumah kami! Memang bener, awalnya saya ikutan majelis ta'lim ini pun karena 'gak enak sama Bu RT (hihi). Wong tindak-tanduk saya bakalan kelihatan dari tempat beliau tinggal.
Hening kemudian. Ini semua ada artinya.
Beberapa kali saya disadarkan bahwa semua keadaan yang memaksa ini, adalah memang sudah digariskan oleh-Nya. Ya seperti (lagi-lagi) peristiwa hengkangnya saya dari kantor lama. Semua keadaan mendukung saya untuk melakukannya. Tapi ternyata hasilnya baik sekali. Kami insya Alloh lebih bahagia lahir bathin sekarang. Kali ini juga begitu. Keadaan mendukung saya mengaji di sini. Memaksa. Dan hasilnya, insya Alloh baik sekali.
Di situlah saya kira ternyata saya wajib "memperbaiki" adab saya. Bagaimana asumsi negatif mendorong saya kepada penghakiman yang buruk, kemudian saya menghalaunya. Tidak gampang, lho! Apalagi kalau sudah biasa julid. Kemudian ternyata tidak seburuk itu. Dan setelah adab ini, ternyata ilmu yang diajarkan di majelis, baru terasa faedahnya. Ini benar.
Sumber. Komik Tuti. |
Bu Ustadzah (Bu RT) ini juga fasih dalam menerjemahkan Qur'an dan kadang-kadang mengajar Hadits. Akhirnya saya punya Guru Ngaji lagi setelah sekian lama.
Menariknya, ada satu anggota majelis ta'lim paling senior. Umurnya mungkin delapan puluhan. Renta, dengan punggung yang sudah tak lurus lagi. Tanpa gengsi apalagi tengsin, beliau hadir dengan rajinnya di majelis itu. Jadi asisten paling cekatan mempersiapkan kebutuhan mengajar Bu Ustadzah (Bu RT). Yang beliau baca memang baru Iqro', tapi semangatnya tidak separo-separo. Sebelum kami mulai mengaji Qur'an, beliau setor bacaan Iqro' dengan lirih tanpa enggan. Merinding banget melihatnya.
Muka nenek diambil dari angle samar demi kesopanan. |
Ternyata umur tidak boleh mengalahkan semangat mencari ilmu, ya?
Padahal selama ini saya sering tengsin karena di beberapa kelas yang saya ikuti, saya hampir selalu jadi siswa tertua. Yang lainnya, mahasiswa atau pekerja kantoran muda. Lah ini kecontohan sama Nenek. Bahwa mengapa harus memikirkan penghakiman orang lain, padahal yang butuh belajar itu kita sendiri? Yang merasakan manfaat ilmunya, juga kita?
Ah, nenek. Kalau saja saya tidak berangkat mengaji, pastilah saya tidak akan bertemu dengan nenek. Tidak akan ada tamparan menohok yang meleburkan penghakiman buruk saya kepada sekitar, kepada segala yang terjadi di dunia maya. Ini nyata. Dan saya sangat fakir dalam adab dan ilmu. Apa jadinya, ketika ketakutan dihakimi dan kefasihan menghakimi ini terus menerus dipelihara? Selamanya mungkin akan jauh dari adab dan ilmu.
Amit-amit (3).
Terima kasih, Nek!
No comments:
Post a Comment
WOW Thank you!