Setelah tahun kemarin, saya jadi punya tiga tempat pulang. Itu baru saya sadari sekarang, soalnya ketika saya bilang “pulang”, yang biasanya di Sumedang bagian rumah Ibu-Bapak saya (he-he), saya jadi aneh sendiri. Bagi suami, pulang mungkin artinya ke Sumedang bagian rumah Mamah-Papah (mertua saya). Jadi saya suka ralat. Kalau bilang pulang, saya bilang spesifik, pulang ke rumah Ibu atau rumah Mamah.
Rumah sisanya? Tentu rumah kami yang di Bekasi. Karena itulah tempat dimana akhirnya kami bersama-sama dalam satu atap sebagaimana seharusnya suami-istri. Jadi kalau kita bilang “pulang” tanpa embel-embel, berarti yang dimaksud adalah Bekasi. Ah, padahal hati kami masih sangat Sumedang, he-he.
Enam bulan pertama pernikahan, kami masih tinggal di tempat yang berbeda. Saat itu, arti “pulang” lebih bercabang daripada sekarang. Pulang ke mana? Siapa yang pulang? Gitu. Saya ngekos di Palembang dan suami tinggal di Bekasi. Pusiing.
Gambar cat air dan tinta pada kertas. Dibuat di Kuching. |
Alhamdulillah, keruwetan label “pulang” ini berkurang setelah kami serumah. Itu adalah salah satu keputusan terbaik kami, saya khususnya, di tahun 2018.
Faedah serumah, kami jadi lebih sering bertemu, bertatap muka, dan jarang konflik yang disebabkan oleh kesalahpahaman tulisan di gawai. Haha ini beneran sih. Suami saya itu kalau nulis pesan pasti kesannya datar. Kalau tidak kenal, atau tidak pernah interaksi tatap muka, agak susah menebak nada bicaranya. Padahal aslinya ramah sekali lho.
Yah, kami menyepakati arti kata “pulang” pada akhirnya. Bahwa pulang adalah tempat kita kembali. Dan bagi kami, kembali ke tempat kami biasa bersama di dunia, sebelum kembali pada-Nya dan mudah-mudahan masih bersama-sama. Aamiin.
*tulisan ini ditulis ketika kami sedang berada di tempat pulang yang berbeda. Baru begini saja rasanya rindu pulang dengannya. Ah, kita.
No comments:
Post a Comment
WOW Thank you!