10.11.18

Hutang

Sering saya berpikir, hutang saya pasti banyak sekali. Saya hidup sudah di ambang tiga puluhan. Pasti selama itu, teringat atau tidak, dan sengaja atau tidak, pernah saya berhutang pada orang lain. Yang kecil-kecil seperti jajan. Atau bisa jadi yang besar-besar seperti, well, hutang budi. (Yang ke dua ini hitung-hitungannya lebih susah).

Kebiasaan kita yang suka gampang banget bilang, “eh tolong bayarin dulu, 'gak ada uang kecil”. Kemudian besokannya lupa. Itu adalah kebiasaan yang tidak elok. Mengapa? Sedikit demi sedikit, lama-lama membukit. Kata orang sih begitu. Demikian juga hutang yang cuma “latte factor”. Saya merasakan ini banyak terjadi pas saya malah sudah bekerja. Waktu sekolah dan kuliah sepertinya tidak (kalau tidak lupa; dan kecuali hutang pulsa darurat - yang biasanya keesokan harinya saya bayar langsung). Karena zaman kuliah, semua terawasi oleh ibu.

Hasil latihan gambar dengan pensil warna. Gambar aslinya kecil sehingga agak kabur.
Setelah dewasa, semua tak terhindarkan. Ya tidak apa sih, selama ingat dan selama berniat bayar. Selama ada umur juga. Cuma yaa... suka lupa tadi karena sedikit-sedikit yang terhutang. Makanya ketika resign kemarin, walaupun kesannya basa-basi (ha-ha), saya bilang di email perpisahannya, “kalau ada hutang yang belum tertunaikan, mohon diikhlaskan atau diingatkan supaya bisa terbayarkan”. Entah hutang kerjaan sih ya! Yang besar-besar sudah selesai. Yang kecil-kecil? Saya lupa. Sekecil, “mbak tolong kerjakan itu”. Terus karena tidak terlalu penting maka saya iya-iya saja.

Wah. Banyak juga ya.


Saya menulis ini karena belakangan saya cukup kesal dengan gelimang hutang yang saya (tentu tidak pernah tawarkan) berikan ke orang. Karena ternyata benar, hutang bisa merenggangkan silaturahmi. Seperti ada dua tingkatan yang berbeda: yang berhutang dan yang dihutangi. Padahal awalnya yang menghutangi pasti ikhlas karena murni ingin membantu. Tapi ya namanya menghutangi, akadnya hutang, mau ikhlas membantu pun tetap akan ada keinginan dibayar. Apalagi untuk hutang yang tidak ada tenggatnya. Ini salah sih. Soalnya sedekat apapun orang, berhutang harus ada tenggatnya. Saya tidak pernah kasih tenggat.

Bukannya saya husnudzon ke semua orang, enggak juga. Saya suka 'gak enakan saja. Ada loh, orang yang kalau ditagih malah kita yang malu hati - atau kita balik diomelin (ha-ha). Atau orang yang tiba-tiba menghilang, mungkin kehabisan alasan menunda/menolak bayar. Ada juga yang dari awal memang tidak berniat bayar. Jadinya dia membuat suatu persoalan yang bikin kita malas bahkan buat bertegur sapa. Pada akhirnya, yang seperti ini bikin saya enggan menagih, tapi juga enggan mengikhlaskan. Yaa semacam, mangga silakan abaikan, tapi kita mungkin masih akan berurusan di akhirat. Serem kan?

Kalau yang percaya sih serem.

(Update: Belakangan, dari sebuah ceramah yang saya lupa Ustadz/Ustadzah mana yang bilang, katanya hutang yang belum terbayarkan akan bernilai sedekah sampai dengan hutang itu dibayarkan - tentu jika yang menghutangi ikhlas. Hmm. Wallahu'alam).

Maka dari itu, saya bersungguh-sungguh, kalau ada yang merasa hutangnya belum terbayar oleh saya, tolong ingatkan, tolong tagih. Kecuali hutang janji ya. Agak sulit apalagi kalau kemampuan saya menepatinya sudah hilang. Mungkin bisa diberi alternatif lain (misalnya tentang yang berhubungan dengan pekerjaan). Insya Alloh saya tidak marah, lah itu memang kewajiban saya. Namun bagi yang berhutang kepada saya, sok lah semoga Alloh lapangkan hati anda. Saya mah gak akan nagih. Tapi tahu diri aja sih. Gitu. Semoga Alloh juga lapangkan rejeki kami sehingga saya tidak harus berhutang juga.

NB: Pinjam buku (atau benda lainnya) juga hutang. Kudu dibalikin, loh. Thanks.

1 comment:

  1. Bener, pinjam buku itu hutang. Yuk pada balikin buku aku, hiks

    ReplyDelete

WOW Thank you!