19.3.15

The Coward's Vanity

Perhaps your anxiety over how others perceive you is just a coward's version of vanity. - anonymous.
Emang bener sih. Terlebih bila ini tentang diri kita sendiri, bahwasanya kenapa kita sangat "pemikir" dan seolah-olah sangat gak pede itu ternyata adalah bentuk lain dari kesombongan seorang pengecut. Iya. Kita terlalu mikirin gimana orang akan mandang kita sehingga takut dan malu untuk ngapa-ngapain. Padahal sih ya udah. Kamu 'kan 'gak harus ke-pede-an sampe-sampe ngerasa orang akan capek-capek menilai. *Iya sih, orang yang tukang menilai sih adaaaa tapiii memangnya harus peduli sama mereka?
Those who mind don't matter and those who matter don't mind - anonymous.

Skip it. Itu cuma intro.

Kehidupan B sekarang agak aneh dan membingungkan. Yah, mungkin waktu itu beberapa orang sedang mengalami gejolak remaja - entahlah, saya 'kan bukan remaja - terus saya kena imbas, atau memang saya-nya aja yang kebanyakan tingkah. Tapi yaudah, no big deal.


Lucu ketika beberapa orang yang sering hang out dengan saya (tapi tidak dekat secara pribadi sih) mengatakan bahwa saya orangnya gak pernah dan gak bisa marah. Hehe. Diam-diam saya merasa geli karena saya pikir saya sering marah. Hanya saja, dengan mereka saya masih bisa menahan diri. Marah itu mewah dan boros. Kenapa harus dibuang untuk orang-orang yang bahkan gak terlalu kenal dengan saya? My sarcasm is too precious to spend for those who may not concern.

Iya saya tau. Itu juga coward's vanity.

Kemudian hal-hal lain yang mengganggu pikiran saya itu, misalnya betapa susahnya saya memahami "kode" dari orang yang terbiasa menggunakan bahasa sandi dalam pembicaraan mereka. Misalkan minta diajakin nonton, tapi cara nanyanya gini nih:
A: Sabtu ngapain nih?
B: Oh ini di mall X, tapi udah mau pulang.
A: Oke lanjut.
(much much later)
A: Tadi abis nonton ya?
B: Iya.
A: Oh, film apa yang bagus?
B: Cinder*lla. Kenapa? Ada rencana nonton?
A: Enggak :)
Abis itu saya kayak mau pingsan. Baru nyadar, oh itu maksudnya minta diajak. Sempet kepikiran sih semaleman karena si A ini bukan orang sembarangan. Bisa banget mengobrak-abrik 80% kehidupan B saya. Tapi alhamdulillah sih, pas hari Senin ketemu itu saya gak disemprot. Disindir doang, tapi yaudah gimana lagi.

Again. Vanity. Tapi gak coward sih. Eh coward juga ya haha.

Terakhir. Seorang teman berkata: You spent so much time and effort coloring your mask as they called as a social media. Saya kebanyakan sosmed dan hampir semuanya isinya gak penting. Saya sering berusaha jadi misterius (hoekk) tapi nyatanya isi sosmed saya itu sangat membuat saya jadi predictable. Iya.
Sumber.
Sebut saja sosmed biru itu (saya gak percaya, saya pernah upload dan di-tag sebanyak 600 foto, dan dishare pada 700 orang teman yang saya 'gak semuanya kenal), atau sosmed merah yang baru-baru ini HITS dan katanya eksklusif (payah, isinya sekarang orang kantor semua - juga 'gak deket dengan mereka). Sosmed burung? Hmm.. pernah saya abaikan ketika saya keranjingan maen sosmed merah. Kemudian saya CLBK lagi ketika tempat itu jadi semacam tempat menulis self-talk yang gak perlu-perlu amat dikomentari.

Oh bukan. Bukan karena komentar teman saya itu yang bikin saya menyingkirkan beberapa gerbang ke kehidupan saya sih. Tapi ya itu tadi. Saya sadar saya kebanyakan make sosmed. Padahal saya orangnya old-fashioned. Mau ngobrol? Yuk ketemu. Yuk ngobrol sambil tatap muka. Saya lagi males mecahin kode. Saya 'kan bukan Sherlock.

Sumber.
Tambahan lagi, zaman sekarang orang suka kepo. Yah saya bisa tau karena saya juga kepo dong. Kayaknya hampir semua hal bisa dicari di internet. Saya males aja ketika orang menemukan sosmed saya, kemudian mereka jadi berekspektasi. Sudah cukup selfie-selfie itu - sudah dihapusin. Twitter dan teman-temannya? Hmm.. yah, anggap aja hint. I am that twisted. Shall we go on? Or shall we stop? Your choice. Saya harap kamu ini Sherlock.

Pada akhirnya ternyata manusia 'gak bisa benar-benar menghilangkan sifat sombong. Mungkin ada caranya supaya 'gak terlalu banyak mikirin diri sendiri. Tapi gimana? Saya juga pengen tau.