28.6.22

(Akhirnya) Ngobrolin Resign

Sebenarnya, saya tuh paling malas kalau harus membicarakan resign. Karena menjadi perempuan karier adalah bagian dari masa lalu saya yang sering ketika disinggung lagi, saya jadi pengen balik ke sana (he-he). Ya gimana. Media sosial menampilkan berbagai sisi berkilauan nan menggiurkan dari teman-teman saya yang masih bertahan di sana. Yang lagi-lagi, bikin saya membayangkan andai saya masih di sana, saya akan jadi seperti apa?

Apakah masih jadi ibu-ibu yang (katanya) passionate dengan karier? Atau ibu-ibu yang menutup diri dari pergaulan kantor karena memang seperti itulah saya? Apakah saya juga masih misuh-misuh memikirkan kompetisi politik kantor yang selalu tidak mampu saya tembus? Apakah anak-anak saya senang dan bahagia bergelimpangan fasilitas mevvah (yang saat ini sederhana namun cukup)? Apakah saya tidak perlu khawatir akan biaya sekolah anak-anak (biar satu circle dengan anak sultan) di masa depan? Apakah anak-anak saya tumbuh baik dalam asuhan nenek & kakeknya? Dan, apakah suami saya ridho?

Apakah Alloh ridho?



Saya tergelitik membahas ini karena memang ada beberapa teman yang bertanya kepada saya, seperti apa rasanya resign. Hanya satu dari tujuh orang itu, yang benar-benar resign pada akhirnya. Jadi saya sangsi, apakah saya benar-benar bisa menjawab dengan baik? Ha-ha. Atau, apakah saya terlihat begitu tidak meyakinkan, sehingga tidak bisa dijadikan contoh penyintas resign? Ya gimana. Saya mah pragmatis, euy. Makanya, disclaimer nih: anda mungkin tidak akan mendapatkan sesuatu yang wow dari tulisan ini. Termasuk gambaran berlebihan tentang bahagianya menjadi IRT, betapa damainya hidup di rumah saja, atau betapa berbunga-bunganya waktu saya bersama keluarga.


Aku ‘gak gitu, Adik-adik.


Jadi, kalau anda sedang mikirin resign, coba pertimbangkan lagi. Barangkali malah urung setelah membaca tulisan ini (he-he).


Strong Why: Bisa Bertahun-tahun Memikirkannya


Kita mulai dari hal yang paling dasar: strong why. Alias alasan kuat. Atau, root cause. Mengapa resign? Saya diberitahu bahwa untuk menemukan root cause, kamu harus bertanya terus akan alasan dari suatu hal sampai benar-benar tidak ada lagi jawabannya. Contoh:


Q; Mengapa terjadi kecelakaan mobil di jalan raya?

A; Karena jalan sempit, dan supir mobil A terlambat membanting setir.

Q: Mengapa supir mobil A terlambat membanting setir?

A: Karena ia tidak fokus.

Q: Mengapa ia tidak fokus?

A: Karena ia mengantuk.

Q: Menapa ia mengantuk?

A: Karena ia kelelahan menyetir.

Q: Mengapa ia kelelahan menyetir?

A: Karena ia telah menyetir 10 jam tanpa henti di malam hari.

Q: Mengapa ia menyetir 10 jam tanpa henti?

A: Karena atasannya menyuruh demikian.

Q; Mengapa atasannya menyuruh begitu?

A; Karena ada tenggat waktu yang harus dikejar.

Q: Mengapa tenggatnya sempit?

A: Karena lengah memeriksa jadwal.

Q; Mengapa lengah memeriksa jadwal?

A; Karena atasan sibuk dengan hal lain.


Dst.

(Tolong koreksi kalau salah contoh, he-he).




Untuk resign pun, ada banyak sekali alasan. Dan sebenarnya ada banyak pilihan solusi. Misalnya:

  1. Resign karena disunting Sultan. Great power comes with great responsibility, cenah. Tahta dan hartamu, konon akan menuntutmu jadi istri, ibu dan wanita sempurna yang dinilai masyarakat sang Sultan - minimal keluarganya sih. Istri Sultan mungkin enggan bekerja kantoran apalagi kalau jabatannya remeh. Apa kata rakjel, yha kan?
  2. Resign karena hamil. Kondisi hamil setiap orang berbeda. Katanya ada yang bahkan perlu full bed rest agar bisa hamil dengan lancar sampai bersalin. Atau, ada yang sering keguguran hingga beranggapan bahwa istirahat melalui resign adalah solusi.
  3. Resign karena lingkungan kerja yang toxic. Sering “dipalak”, dianggap remeh, dan jabatan yang ‘gak naik-naik. Padahal di sekitarmu, orang lagi dadah-dadah dari singgasana mereka, hanya karena mereka akrab (atau satu almamater) dengan atasan.
  4. Resign karena mutasi ke tempat yang tidak diinginkan dan kamu tidak bisa pindah ke tempat lain karena itulah nasibmu. Pinter politik di kantor ternyata penting, bund. Biar kalo pindah bisa nawar.
  5. Resign karena merasa tidak bekerja sesuai passion. Reality check, dulu. Cari kerja tuh susah, sist. Tapi, apa benar kamu mau hidup sampai usia lima-lima menjalani sesuatu yang ‘gak bisa kamu cintai? Yaaa tapi duitnya manis sih. Sulit ya.
  6. Resign karena… (isi sendiri).




(Kenapa aku resign?) Kenali “mengapa”-mu sampai tidak ada lagi yang bisa dijawab.

Kalau kamu?


Berandai-andai Dahulu, Bersenang-senang Kemudian


Berandai-andai ke masa depan ini penting, supaya kamu lebih siap dengan segala konsekuensi di masa depan. Agar jangan sampai, setelah beberapa waktu resign, kamu malah berandai-andai ke belakang.


Mana yang terdengar lebih baik:


“Kalau nanti aku resign, aku bisa nangkring di Book Fair tanpa cuti. Bebas menggambar di mana saja. Bisa main sama anak kapan pun aku mau. Dan ‘gak harus cuti untuk mendapatkan itu semua.”

vs 
“Yahhh… coba dulu aku ‘gak resign.. mungkin sekarang aku udah jadi Direktur Pemasaran & Niaga. Bisa dandan dan pakai baju branded tiap hari ala-ala Gurl Boss. Jajan di mall pagi-siang-malam”.



(Another reality check, pengandaianmu itu terlalu manis, bund).


Setelah kamu mengumpulkan segala konsekuensi yang mungkin terjadi, boleh deh kamu periksa apakah kamu bisa menerima itu semua dan baik-baik saja? Hal paling getir dari resign versi aku: kehilangan circle non kerumahtanggaan dan uang saku yang kau hasilkan di luar nafkah wajib dari suami (yang bisa diboroskan tanpa rasa bersalah - eh tapi tubadzir tabdziro ya).


Does It Make a Difference There, With and Without Me?


Aku diberitahu juga bahwa tidak ada pekerjaan yang tidak bisa digantikan - bahkan presiden pun diganti setiap lima tahun. Lagipula, walau bekerja di sektor publik, banyak sekali orang yang lebih pintar, lebih bisa, lebih berpengalaman dan potensial untuk meneruskan pekerjaan saya dan tidak ada dampak yang berarti jika bukan saya yang mengerjakan. Malahan kayaknya dampaknya lebih besar di saya sih (ha-ha). Jadi, perusahaan tidak membutuhkan saya sebesar saya membutuhkan mereka. Miris tapi logis.


Bagaimana dengan anda?


Anda sering jadi employee of the month? Bahkan of the year? Of the decade? Maka anda sepenting itu. Pikir lagi deh. Belum tentu di tempat lain anda jadi orang penting.


(Walaupun bisa jadi, anda akan jauh lebih dihargai di tempat lain).





Simpulkan Plus dan Minusnya


Ini sebenarnya bisa jadi sebuah kesimpulan dari segala yang kita pikir di atas - kalau dikerjakan dengan benar. Merinci hal-hal ini bisa membuatmu semakin yakin dengan pilihanmu. Bukan soal mana yang lebih banyak antara sisi plus dibandingkan sisi minus. Namun, hal-hal apa yang dapat anda terima, bahkan hal paling buruk sekalipun, tidak jadi masalah saat anda berusaha siap.


Kalau aku, kebetulan aku tidak besar di keluarga dengan banyak privilese. Satu-satunya kelebihanku adalah punya orangtua yang intellectually enlighted yang membuatku alhamdulillah bisa mencicipi sekolah serta gelar sarjana di tengah sulitnya ekonomi keluarga (dan gempuran nyinyiran tetangga). Jadi, “berjuang” secara finansial, betapapun tidak menyenangkan, bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Karena Alloh, dengan kasih sayang-Nya, selalu kasih kami cukup.


Sering juga, membayangkan betapa besar pengorbanan orangtua agar kamu ada di suatu tempat, membuatmu merasa bersalah. Karena kamu tidak akan pernah bisa melunasi hutang-hutang itu. Bersyukurlah jika kamu punya orangtua yang melampaui zamannya: mereka memberi, tak harap kembali. Modal pendidikan, dimaksudkan agar kamu berdaya - dengan atau tanpa pekerjaanmu yang sekarang.


Istilah zaman sekarang, choose your battle cenah. Dampak dari resign yang paling besar (sekalipun kamu menikah dengan Sultan) yang tak bisa dipungkiri adalah ada yang hilang secara finansial. Jadi, yah.. pikir yang panjang sebelum memutuskan.



Kembalikan Semua kepada-Nya


Ini yang utama (jika kau percaya, tentu saja). Harusnya malah aku taruh di atas. Tapi sungguh, meyakini bahwa skenario-Nya adalah yang terbaik, dan Ia tak pernah dzolim pada hamba-Nya, bisa memberikan dampak yang besar sekali untuk hatimu. Apalagi ketika alasan resign-mu itu syar’i, yang sudah kau pertanyakan sampai habis dan ternyata jawabannya tetap sama: lepaskan karena mengharap ridho-Nya.


Karena pertanyaan terbesar dalam hidup adalah: “Apakah Alloh ridho?”


Resign atau lanjut, saat ridho Alloh yang sedang kamu cari, insyaAlloh jalannya ada aja. Walau, memang, tentu mulus, apapun pilihanmu.



Ada lima fase berduka (grief): denial, anger, bargaining, depression & acceptance. Namun, durasi masing-masing fasenya, kamu yang tentukan, bukan? Syukuri aja. Andai sekali-kali, kenangan itu lewat, cobalah tersenyum tanda kamu pernah bahagia di sana. Dan akan bahagia juga di sini.


Aamiin.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!