17.6.22

Kamilia, Aril dan Cerita Wisudaku (yang Sebenarnya Tidak Ada Hubungannya)

Kamilia adalah anak SMA biasa. Baru lulus dan wisuda kemarin. Foto-fotonya yang sedang tersenyum bahagia di hari kelulusannya itu ramai di lini masa berbagai sosial media dan harian daring. Selempang bertuliskan “siswa berprestasi” dikenakannya dengan bangga. Menambah keren penampilannya. Meski begitu, sebenarnya Kamilia masih berduka. Duka yang dalam sekali. Beberapa pekan lalu, Aril, saudara kandung kesayangannya, meninggal dipeluk derasnya sungai saat mereka tengah liburan sekeluarga.

Aku ikut bahagia melihat Kamilia lulus SMA. Agak menorehkan haru dan nostalgia. Tentu bukan karena ia adalah junior SMA-ku. Hanya saja, aku membayangkan sebuah duka. Sebuah empati untuknya yang dilanda luka.




Enam belas tahun yang lalu.


Saat itu pesta kelulusan SMA. Ibu hadir dan berbaik hati membawakan tas besar yang berisi baju ganti untukku. Aku tidak langsung mengenakan kebaya dari rumah karena tentu akan menarik perhatian. Ditambah riasan wajahku yang menor dengan lipstik yang disapukan terlalu banyak dari luas bibirku sebenarnya - aku merasa seperti boneka Bratz waktu itu (atau Joker? Ha-ha). Untung ada ibu.


Awalnya, aku menikmati pesta kelulusan itu sambil ikut bertepuk tangan untuk teman-teman sekelasku yang berprestasi. Ada yang dipanggil ke panggung karena mendapat nilai UN tertinggi. Ada yang diumumkan namanya karena telah diterima sebagai mahasiswa di universitas negeri ternama. Ada juga yang mendapat beasiswa kedokteran dari perusahaan swasta di tempat tinggalnya. Aku tidak mendapat apa-apa. Tidak dipanggil sebagai apa-apa. Hanya satu orang biasa dibandingkan ratusan murid yang lulus.


Beda sekali dengan saat SMP.


Teringat lagi hal menyakitkan yang dilontarkan salah satu guru. Bahwa aku tidak akan sukses masuk jurusan IPA. Nilai-nilaiku buruk. Motivasi sekolah nihil. Sampai pernah merasakan pahitnya berada di peringkat terakhir di kelas (belakangan baru aku tahu bahwa wali kelasku salah menjumlahkan nilai-nilai raporku). Kakakku waktu itu marah sekali. Ia yang mengambilkan buku rapor dan ia merasa malu sekali punya adik sepertiku.


Pokoknya tidak ada senyum di hari itu.


Apa karena aku sedang merasakan gejolak remaja atau sejenisnya? Waktu lulus, usiaku baru enam belas tahun. Rasanya tidak ada yang paham apapun yang kualami. Aku ingin sekali ditepuk-tepuk dan diyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Tapi keluargaku tidak pernah akrab dengan yang namanya basa-basi.


Jadi ketika akhirnya aku cemberut hari itu, dan menolak pulang cepat karena masih menikmati kesedihan saat lulus-lulusan bersama teman-teman, ibu jadi marah sekali. Beliau pulang terlebih dahulu karena merasa aku telah menyakiti hatinya. Aku salah paham. Kukira ibu marah karena aku tidak dipanggil dengan titel apapun ke panggung.


Aku pulang beberapa jam kemudian dengan masih mengenakan kebaya mencolok dan riasan menor yang sudah carut-marut. Aku masih cemberut tentu saja. Juga disambut cemberut ibu sesampainya di rumah. Lengkap sudah hari nahasku.


Dua belas tahun lalu.


Wisuda kuliah pun sama saja. Aku ingin merasakan makan-makan di restoran dan foto-foto di studio seperti teman-temanku. Tapi yang kudapat waktu itu, makan nasi timbel di pinggir jalan dan berfoto dengan menggunakan kamera rusak. Jadi, aku cemberut lagi. Aku bahkan menolak makan. 


Aku tidak punya foto wisuda yang memadai. Mau itu SMA atau kuliah. Dan rasanya itu adalah hal yang pantas dicemberuti. Setidaknya waktu itu.


Saat ini, setelah menjadi orangtua.


Sebanyak apa saat itu aku meminta empati yang tidak kudapatkan dari orangtuaku, sebanyak itu aku merasakan empati terhadap mereka saat kucemberuti. Mereka lelah. Juga sedih saat tidak bisa memberikan yang diinginkan anak-anaknya. Sesederhana ingin makan di restoran atau berfoto di studio. Yang tentu tidak sederhana saat itu. Karena bisa datang dengan bangga saja sudah alhamdulillah dengan segala keterbatasannya. Berangkat menggunakan mobil pinjaman dari seorang Uwak yang baik hati. Mengenakan kebaya yang dijahitkan ibu dengan teliti.


Lalu aku teringat sepekan sebelum ibu berpulang, ia pernah mengirimiku pesan singkat, yang isinya bahwa,


Ibu mah alim ngarepotkeun barudak. Karunya bisi tepa ka incu. Mangkaning anak mah segala-galanya kan?


(Ibu tidak ingin merepotkan anak-anak. Kasihan kalau sampai (penyakit ibu) menular ke para cucu. Bukankah anak adalah segalanya?).


Ya. Kesedihanku dan sikap egoisku saat remaja ternyata remeh sekali dibanding kesedihannya. Meski begitu, ia telah mengusahakan yang terbaik. Dan aku malah menambah kesedihannya.


Kamilia, dan semua yang sedang memendam sedih dalam hangatnya momen wisuda (yang kadang tidak seideal yang kita bayangkan), sudah keren sekali karena telah berusaha tegar. Tegar dan tabah adalah tanda bahwa kedewasaanmu sedang bertambah. Kau telah siap terjun ke masyarakat dan membuat orangtuamu semakin bangga. Percayalah, ketika kau kecewa terhadap banyak hal (juga pada dirimu sendiri), ada orangtua yang sedang bersedih dan kecewa berkali lipat pada dirinya.


Terima kasih telah tetap tersenyum, ya.


(Walau terlambat, terima kasih ya Alloh, kini akhirnya aku bisa berempati kepada ibuku).

2 comments:

  1. Terima kasih sudah menulis ini. Mengutarakan beberapa isi hati yang boleh jadi juga merasakan ketidak nyamanan atas kegiatan perpisahan dsb.

    ReplyDelete
  2. Send you big hug and love ❤️ ☺️ 👍(iradnushadni_evol)

    ReplyDelete

WOW Thank you!