1.2.19

Berhala dan Idola

Idol, dari arti katanya saja, dalam bahasa Inggris, salah satunya adalah: berhala. BERHALA, lho.

i·dol

Hasil kamus untuk idol

/ˈīdl/
noun
  1. an image or representation of a god used as an object of worship.
    sinonim:icon, god, imagelikenessfetishtotemstatuefigurefigurinedollcarvingLainnya

    • a person or thing that is greatly admired, loved, or revered.
      "movie idol Robert Redford"

      sinonim:heroheroinestarsuperstariconcelebritycelebutanteLainnya


noun
  1. 1. idola
  2. 2. berhala
(Definisi disalin mentah dari Google).

Makanya saya setuju ketika kita punya idola, di saat cara kita mengidolakannya itu sudah kelewat batas, maka yang terjadi adalah, kita seperti mem-berhala-kan orang yang diidolakan tersebut. Makanya lagi, entah sejak kapan, saya mulai berhenti mengidolakan sesuatu - atau seseorang. Bagi yang mengikuti blog ini agak lama, pasti tahu betapa saya sangat mengidolakan beberapa musisi, penulis, bahkan komika. 

Ketika dirunut bagaimana semua berawal, tentu karena lingkungan dan pergaulan.

Ilustrasi asli oleh @tweedledew . 
Musisi, karena saya tumbuh sebagai remaja penggemar musik. Beranjak SMP, saya mulai mendengarkan band lokal. Sederhananya hanya karena teman-teman saya mendengarkan itu. Rasanya tidak gaul kalau tidak suka musik. Begitu pun sampai saya kerja. Musik dan nyanyi bagaikan pelipur lara dan penat. Apalagi ketika sudah mengenal asyiknya berkaraoke. Memperbarui daftar lagu yang bisa dibanggakan dengan suara seadanya di karaoke adalah mutlak perlu. Kalau tidak, saya tidak bisa menikmati apa pun, bukan?


from We Heart It.
Lalu penulis. Sampai sekarang saya masih membaca karya dari beberapa penulis tertentu. Dulunya, hanya mangaka yang saya akan kejar semua karyanya. Takashi Obata dan Tsugumi Ohba, Junjii Ito, Naoki Urasawa serta Nobuhiro Watsuki adalah beberapa dari sekian banyak mangaka favorit saya. Tapi, ya sudah. Saya tidak terlalu tahu juga, bagaimana kehidupan mereka sebenarnya. Untuk karya yang lebih serius, mungkin Leila Chudori dan Gyllian Flynn. Tapi sama juga, saya tidak tahu kehidupan mereka yang sebenarnya. Suatu hari saya pernah suka dengan karya-karya satire Ned Vizzini. Lalu kecewa dengan keputusannya mengakhiri hidupnya sendiri. Ternyata kehidupan penulis tidak sesempurna itu.

Gone Girl movie by Gyllian Flynn. From We Heart It.

Sementara komika, saya menyukai mereka karena stand up comedy itu buat saya adalah bentuk "keringanan" berorasi. Saya 'gak bilang komedi itu gampang, lho. Cuma itu bisa jadi senjata meringankan orasi berat. Selalu teringat bagaimana saya mengatasi demam panggung dan kecanggungan bicara di depan umum lainnya dengan "tertawa". Saya membiarkan orang menertawakan sesuatu yang saya ucapkan dengan dalih penghangat situasi. Padahal saya canggung. Tertawa membuat semuanya terasa lebih ringan. Bedanya, saya orang biasa yang kebetulan sering disuruh presentasi (pada zamannya), dan komika, yah, komika memang bertugas membuat kita tertawa. 

Oh iya satu lagi: selebgram. Saya bukan orang yang terlalu suka dengan artis nasional. Tapi beberapa seleb saya follow karena beberapa hal. Misalnya lucu dan modis. Seperti Teh Fitrop, Diana Rikasari dan Suhay Salim. Atau caption IG-nya membangun dan menarik. Ternyata, IG telah menggabungkan ketiga hal yang saya sukai di atas: musik, menulis, dan bicara. Jadi semua lengkap di sini.

From blog Diana Rikasari.

Yang saya rasakan, ketika mengidolakan sesuatu (secara berlebihan), akan ada beberapa gejala:

Ingin tahu banyak tentang idola.
Ingin tahu semua karyanya. Lebih disukai jika kita sampai hapal di luar kepala.
Ingin tahu banyak apa yang disukai idola.
Ingin tahu siapa temannya, siapa musuhnya.
Ingin menjadi seperti dia.
Ingin membela dia apapun yang terjadi, andai ada yang menjelekkan dia.

Dua yang terakhir ini buat saya sudah agak mengganggu kehidupan sih. Sebenarnya bahkan tidak penting. Kecuali si idola ada hubungan khusus dengan kita (ini opini saya saja): hubungan keluarga, hubungan pernikahan, persahabatan, atau yang lebih penting lagi, histori religius (misalnya Tuhan, Nabi, situs agama). Pacar tidak termasuk (ha-ha). Semuanya jelas sehingga wajar jika seperti itu perasaan kita terhadap mereka. Mereka semua penting bagi kehidupan kita. Pertanyaannya, jika kita mengidolakan sesuatu seperti musisi, penulis, komika, atau selebgram, lantas apa pentingnya keberadaan mereka bagi kehidupan kita? Sebesar apa kontribusi mereka?

Bisa juga, sih, kita jawab, "Oh, penting, karena musik band A membuat saya bangkit dari kegagalan dengan lirik-lirik yang membangun". Atau, "Oh, penting, karena penulis B memberikan sumbangan pemikiran yang membuat saya lebih paham terhadap topik C." Atau, "Oh, penting, karena komika D membuat saya tertawa di saat saya sedang hampir mati bosan atau habis bangkit dari putus cinta." Atau juga, "Oh, penting, karena selebgram E menginspirasi saya untuk membuat IG saya lebih bermanfaat, juga menerapkan tips dan triknya di kehidupan sehari-hari."

From Gifer.
Tapi, kemudian, ada hal yang kita lupa. Sesungguhnya peran mereka hanya itu saja. Kehidupan asli mereka, yang belum tentu sesuai dengan karya mereka, tidak sepenting itu untuk kita ketahui atau kita bela habis-habisan. Saya sering mendengar, di balik lirik lagu seorang musisi A, tersembunyi kepribadian buruk yang dia tutupi. Atau di balik tulisan B yang terang benderang, tersimpan kepahitan hidupnya yang sesungguhnya legam. Pernah saya bahas sedikit, bahwa yang mereka sajikan adalah imaji. Citra. Mereka ingin kita melihat mereka sebagaimana mereka citrakan dalam profesi-profesi tersebut. Sisanya? Ditutupi topeng. Yang mungkin sama saja seperti kita orang biasa. Maka tidak perlu, menurut saya, mengintip ke dalam topeng tersebut untuk melihat terlalu dalam. Toh kita juga, pasti tidak suka jika orang melihat apa yang ada di balik topeng kita. Mungkin isinya aib. Mungkin isinya su'udzon berwarna-warni. Mungkin isinya narsisis yang suka melihat orang kesusahan.

Itulah, akhirnya saya tidak punya idola yang spesifik lagi. Kecuali yang berkaitan dengan komitmen saya sebagai orang yang memilih agama saya sekarang. Lagipula, akhirnya saya suka kecewa dengan yang saya idolakan. Sering juga saya merasa konyol ketika sadar bahwa saya sudah berlebihan. Jika waktu bisa diputar, pasti saya tidak akan memilih jadi otaku misalnya. Ha-ha. Tapi semua orang punya fase hidup. Yang penting, tahu kapan saatnya berhenti. Atau memaksakan diri untuk berhenti.

Mengapa saya menulis ini? Saya gamang. Betapa akhir-akhir ini, mengidolakan citra seseorang lalu berasumsi bahwa isi topengnya sempurna, sudah berujung pada kebablasan. Membela membabi buta, menyerang orang yang berbeda pemikiran, sampai-sampai berujung perundungan. Like, wtf, people? Terkejut ketika perundungan beramai-ramai ini berujung pada keraguan validitas rating sebuah karya di situs database internasional. Ribuan orang ramai-ramai membuat akun di situs itu hanya untuk menjelek-jelekkan sebuah karya. Lucu 'kan? Kalau saya sih, pasti malu. Sayang sekali, jika hal seperti itu menghabiskan tenaga dan kreativitas, bahkan waktu kita.

Kontribusi orang itu di hidup kita juga tidak sebesar itu, ah.

From Fanpop.

(Sampai sini pasti anda tahu apa, atau siapa, yang saya maksud. Enggak lah, tidak ada hubungannya dengan "copras-capres").

Ya, idolisasi buta memang sedang marak-maraknya. Idolisasi buta loh, bukan berarti tidak boleh punya idola. Sah-sah aja.. Mungkin menjelang tahun politik. Sulit untuk tetap obyektif di tengah arus opini saat ini. Kayak, setiap orang ngomong, setiap orang bersumpah melihat sesuatu, padahal belum tentu. Saya tidak menyalahkan sih, karena untuk memilih seseorang, kita harus suka pada orang tersebut. Atau ada kecenderungan hati, lah - cie, kayak konsep jodoh. Namun, sama juga kayak memilih jodoh, jika si orang ini saja belum tentu baik (atau bahkan, belum tentu mau bersama kita dengan cara yang benar), bagaimana kita bisa mati-matian membela? Istilah saya, memberhalakan mereka?

Idolamu bisa salah. Sama. Kayak kamu.

Wallahu'alam.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!