Cita-cita luhur negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai
UUD 1945, sebagaimana dipetakan juga dalam visi Kemdikbud 2025 yakni membentuk insan
Indonesia yang cerdas dan kompetitif (insan kamil/paripurna), mendorong
diperlukannya peningkatan, bahkan pembenahan di berbagai aspek pendidikan.
Salah satunya adalah literasi - yang menurut KBBI berarti, kemampuan membaca
dan menulis. Sejarah emas bangsa ini telah merekam bagaimana orang-orang hebat
pencetus kebangkitan nasional dibesarkan melalui aktivitas literasi. Sebut saja
Bung Karno yang pernah menulis naskah pidato Indonesia Menggugat yang fenomenal
itu, Bung Hatta yang bahkan rela dipenjara asal bersama buku, atau dr. Sutomo
sang pendiri Budi Oetomo yang menggunakan literasi sebagai salah satu
senjatanya dalam pergerakan melawan penjajah Belanda.
“Buat banyak orang penjara itu tempat yang buruk, tempat yang tidak ada enak-enaknya, tidak ada yang baik. Tapi buat Bung Hatta, penjara adalah ruang semedi, ruang pertapaan di mana orang bisa memperkuat watak, memperkuat iman, terutama jalannya adalah dengan membaca,” (J. J. Rizal, sumber).
Jadi sebetulnya, kita pernah unggul! Lantas, apa yang bisa
upayakan untuk kembali unggul seperti di zaman para pendiri bangsa ini? Agar
kita, juga anak-anak kita, generasi alfa penerus bangsa tidak terlena dengan
percepatan kemajuan teknologi yang tersederhanakan dalam sebuah gawai saja?
Ya. Kita membutuhkan sebuah program Win Back.
Dalam istilah pemasaran, program ini dilakukan saat pemasar
menggunakan sejumlah cara untuk merebut kembali pelanggan lama yang sempat berhenti
bermitra - entah karena sudah beralih ke produk kompetitor, entah sudah tidak
tertarik, dan sebagainya. Menariknya, hal ini dapat kita terapkan sesuai dengan
analogi “kegiatan berliterasi” sebagai produk, sedangkan mitranya adalah kita
sendiri.
Menurut T. Connor dalam bukunya yang berjudul "91 Mistakes
Smart Salespeople Do", setidaknya ada 3 hal pokok yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan program win back ini. Pertama, cari tahu “mengapa”.
Apakah benar, kompetitor buku adalah gawai? Dewasa ini, gawai memang sudah
tidak bisa kita lepaskan dari tangan - secara harfiah, bahkan! Jadi jika
dikatakan bahwa gawai adalah kompetitor bagi buku, maka bisa jadi hal ini ada
benarnya. Aktivitas literasi aktif ekspresif telah bergeser menjadi pasif
bersama gawai. Buku sudah digantikan oleh media sosial. Bahkan dalam sebuah
statistik dikatakan bahwa,
Rata-rata orang menghabiskan waktu sebanyak 144 menit per hari dalam menyimak media sosial, yang mana jumlah ini 62,5% lebih banyak dibanding tahun 2012 (Sumber).
Sumber. |
Kedua, “cari tahu kondisi masa kini”. Dalam sebuah
wawancara, salah seorang humas toko buku terbesar di Indonesia pernah
menyatakan bahwa tingkat penjualan buku ternyata tidak separah itu. Bahkan
akhir-akhir ini meningkat kembali. Memang, beberapa media cetak terpaksa sudah
gulung tikar karena sulit bersaing dengan media daring. Namun berbeda cerita
dengan buku. Berita baik ini juga dapat dilansir pada situs goodnewsfromindonesia.com, dimana di situ
disebutkan bahwa tiga alasan utama orang
membeli buku adalah berkat harganya yang diskon, rekomendasi teman, dan pembahasan di media sosial.
Terakhir, “lakukan kontak”. Beri tahu bahwa kita butuh
mereka kembali. Sebetulnya program win back ini butuh komitmen yang
tinggi. Mengapa? Karena pemasar dan targetnya adalah orang yang sama: kita
sendiri. Pemasar tidak boleh malas memprospek si target. Sementara target
haruslah merelakan dirinya serentan mungkin untuk dipengaruhi. Jadi, sangat
penting untuk melakukan tahap ini secara kontinu. Apalagi jika dirasa semangat
literasi sudah mulai kendor.
“Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Carilah buku itu. Mari jatuh cinta.” (Najwa Shihab, Duta Baca Indonesia 2016-2020).
Jika ketiga hal di atas sudah dilakukan, maka selanjutnya adalah
memelihara loyalitas. Jangan sampai, pelanggan pergi lagi. Caranya:
Berkomunikasi secara rutin. Buku harus selalu tersedia dalam jangkauan kita. Tidak harus buku baru. Buku lama yang masih menarik pun jadi. Yang penting, ada waktu yang disediakan untuk membaca.
Baca dan terus baca. Sumber. |
Buatlah target yang realistis. Contohnya, tahun ini harus bisa membaca 5 buku fiksi. Atau untuk menulis, tahun ini harus sudah punya weblog, misalnya. Supaya bisa menuangkan ide secara rutin. Jalankan target ini dengan penuh tanggung jawab namun tetap realistis sehingga dapat tercapai.
Sumber. |
Respon cepat terhadap segala permasalahan yang mungkin terjadi. Acapkali, orang jadi malas meneruskan membaca karena hal-hal konyol semacam hilangnya penanda baca di dalam sebuah buku. Mungkin kita lupa menyelipkan penanda itu, atau bukunya agak lama tidak disentuh sehingga perlu energi baru untuk memulai kembali. Respon cepat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini, misalnya dengan segera mencari tahu sampai mana bacaan kita. Kalau tidak, kita akan terlanjur lupa dan akhirnya malas meneruskan.
Sumber. |
Bersiap-siap dengan pelanggan yang marah. Contoh di poin sebelumnya kadang bisa menurunkan mood membaca. Jika dibiarkan, mood itu dapat terus menurun menjadi kemarahan! Oleh karena itu, diperlukan sugesti yang positif dan aksi yang tepat. Entah buru-buru menyelesaikan masalah yang tadi, atau mungkin memulai bacaan baru yang lebih menarik. Apa saja, supaya semangat kita tetap terjaga.
Sumber. |
Jaminan mutu. Setiap orang mempunyai ide yang berbeda dalam mana kondisi ideal apa yang dapat menjaga kualitas aktivitas literasi ini. Ada yang membutuhkan alunan musik, namun ada yang perlu situasi sunyi senyap agar dapat berkonsentrasi. Ada yang harus duduk, ada pula yang harus berbaring. Sebaiknya kita paham betul apa yang menjadi kondisi terbaik untuk kita dapat membaca dan menulis dengan senang hati.
Sumber. |
Bekerja sama dengan pihak lain yang terkait. Pada lingkup terkecil yakni di keluarga, kerja sama ini paling penting dilakukan dengan pasangan. Ini tidak selalu tentang bujet membeli buku saja, akan tetapi yang terpenting, komitmen dalam membacanya juga. Pasangan harus sama-sama berkomitmen “kembali kepada buku”. Dengan begitu, anggota keluarga lain, misalnya si kecil sebagai penyimak tidak harus “memilih” karena kedua orang tuanya sama-sama penikmat buku dan tulisan. Pada lingkup yang lebih luas, perlu dipastikan agar lingkungan sekolah, atau rumah, mempunyai kanal-kanal yang dapat memperkuat kecintaan kita pada literasi. Perpustakaan lokal, taman bacaan, atau bahkan rumah nenek yang menyimpan buku-buku tua nan menarik dapat menjadi aktivits tamasya literasi yang menyenangkan.
Warner Bross. |
Selalu lakukan tindak lanjut program. Ini bagian menariknya. Ternyata kita tidak perlu bercerai dari gawai. Mengapa? Fakta di lapangan, media sosial memberi banyak andil dalam memasarkan kembali literasi. Seperti disebut di atas, peringkat tiga alasan orang membeli buku di Indonesia adalah karena ada pembahasan mengenainya di media sosial. Maka hal ini dapat menjadi bagian dari tindak lanjut program win back kita, dimana gawai dan media sosial yang awalnya menjadi kompetitor terbesar literasi, saat ini menjadi pelengkap yang dapat menjaring lebih banyak orang untuk menjadi pembaca dan penulis handal - tentunya jika dimanfaatkan dengan baik. Unggah aktivitas kita berliterasi melalui foto atau video dengan deskripsi yang menarik. Niscaya kita telah ikut andil dalam memasarkan literasi kepada masyarakat luas - minimal kepada para pengikut media sosial kita. Tantangan yang menarik, bukan?
Sumber. |
***
Tingkat keberhasilan program win back ini tentu sangat
bergantung pada komitmen kita. Apakah akan berjalan lancar, ataukah hanya
semangat di awal-awal saja. Namun apapun itu, mengingat pentingnya literasi ini
terus bertumbuh, sebaiknya kita tidak boleh menyerah. Malu kita, pada
bapak-bapak pendiri bangsa ini.
Akhirnya, menyitir sebuah ungkapan bahwa cara terbaik untuk
mendidik kebiasaan semacam ini adalah dengan mencontohkannya, maka saya
setuju jika sebagai orang tua, yang juga merupakan sekolah pertama
anak-anaknya, kita perlu membenahi diri terlebih dahulu untuk kemudian
meningkatkan #LiterasiKeluarga. Harapannya, aktivitas menulis dan
membaca tidak akan tergerus sehingga buku menjadi #SahabatKeluarga.
Bayangkan, jika dua orang tua dapat membudayakan literasi di beberapa anggota
keluarganya, maka satu juta orang tua akan menyemai kecerdasan dalam satu
lingkungan masyarakat, bahkan negara! Oleh karena itu, yuk, kita rebut kembali
literasi bangsa kita! Kita buat para pendiri bangsa ini bangga.
"Buku mengenalkanku pada dunia dengan pikiran-pikiran terhebat dan aku ingin dunia tahu, aku dan bangsaku juga besar (Bung Karno, 1916)".
No comments:
Post a Comment
WOW Thank you!