16.8.19

Sim, Salabim, (Besok Gede) Jadi Apa? Prok.. Prok.. Prok!!

Belum genap lima bulan punya anak (bayi), akhirnya pelan-pelan saya merasakan kemunculan benih-benih ambisi mamah-mamah zaman now sebagaimana dicontohkan secara nyinyirly hilarious oleh akun IG @mamambisius. Iya, fenomena “pamer anak” di sosmed masa kini memang seambisius itu. Apa saja dipamerin. Baru lahir, pamer melahirkan gentle birth. Katanya, anaknya nurut afirmasi positif emaknya sehingga lahirannya gampil. Hm. Oke. Beberapa bulan kemudian, milestone terdokumentasikan: berhasil berguling, tengkurap, tiarap, merangkak, jalan kaki, jalan jongkok.. dsb. Sudah rada gede nih, anaknya ternyata mau main mainan Montessori yang tidak terlihat menarik itu (sehingga itu sebuah prestasi). Balita, berhasil masuk ke sekolah usia dini yang daftarnya saja waiting list dari zaman orok belum lahir. Kemudian tiba-tiba si anak ngomongnya sangat keminggris. Orang tuanya mah kalah dah. De es be, de es te.



Salah? Gak ada yang bilang salah sih. Bagi netijen julid berpotensi iri dengki mungkin salah. Yang lainnya, jadi sebuah inspirasi. Kadang jadi patokan perkembangan anak gitu. Semacam, anaknya Andien ‘gak nangis kalau jatoh, berarti anak gue juga harus demikian. Hm. Oke. Buibuk, setelah saya mencapai milestone menjadi mamak-mamak anak satu (ciye, mahmud abas cie.. eh iya gue gak muda huhu), barulah saya sadar bahwa social pressure semacam itu memang nyata adanya. Gak usah jauh-jauh nengok sosmed deh. Tetangga kita punya anak dengan kegendutan pesat saja, kadang lihat anak sendiri jadi berasa kerempeng. Padahal pertumbuhannya normal-normal saja, sesuai kurva pertumbuhan anak. Atau lihat rambut anaknya jeng-jeng komplek sebelah sudah jabrik sedari brojol, diri ini pun lihat anak berasa botak banget. Jadi gak sabar mau lihat rambutnya tumbuh barang semilimeter gitu. Atau lihat anak lain dipakein turban lucu-lucu, jadinya kepengen padahal anak ini laki-laki yang notabene pilihan aksesorisnya terbatas.

Apa ini namanya? Social pressure menular ke anak? Gejalanya begini amat memang. Gejala-gejala kufur nikmat. Hiih.

Kalau diingat-ingat, cara ibu saya mendidik saya waktu kecil sedikit beda sih. Ketika ibu lain melihat misalnya waktu itu topi “Tersayang” lagi HITS, maka ibu saya gak membelikan saya topi begitu, biar gak kalah sama anak lain misalnya. Ibu saya beliin pita segede gaban buat dipake di rambut. Mungkin maksudnya biar saya tetap stand out tanpa harus membebek tren tersebut. Atau kalau masalah pertumbuhan nih. Saya dari kecil memang petite, namun untungnya ibu saya gak tiba-tiba nyekokin saya dengan vitamin-vitamin aneh-aneh biar saya cepat gemuk seperti anak tetangga.

Sumber.
Memang seperti itu baiknya, menyikapi gempuran social pressure yang ternyata sudah ada dari zaman baheula itu. Afirmasi positif. Bahwa kita tidak harus sama dengan mereka. Begitu pun anak kita.

Dan yang paling lucu adalah soal.. mendikte masa depan anak! Ya wajar sih. Sedari bayi saja nih anak sudah dibanding-bandingkan dengan kehidupan perfect ala selebgram sosmed (tapi Shireen anaknya Hamidah Rachmayanti memang ucu banget ya), bagaimana besarnya bukan? Iya. Saya pernah bercanda mendikte Faruki agar besarnya nanti kuliah di UI, jurusan kedokteran umum gitu deh. Selidik punya selidik, walaupun niatnya bercanda, ternyata mamah-mamah lain sudah lebih dulu melakukan itu! Cih. Saya keduluan.

Sumber.
Apakah saya fitri dari dosa-dosa iri dengki semacam itu? Tidak juga. Namun memang saya malah jadi suka merasa bersalah ke Faruki kalau terbersit sedikit saja membandingkan dia dengan anak lain. Semacam, ya ampun kenapa Faruki kurus ya? Temennya gendut banget nih. Padahal ASI saya ke Faruki tidak pernah kendor. Apa sayanya yang kurang gizi? Hehe, introspeksi ke dalam mungkin bagus, tapi malah bikin stress. Ujungnya, dibawa enjoy saja. Saya dan Mr. Darcy kan memang kurus. Masa anaknya harus tiba-tiba gendats. Tidak perlu menularkan social pressure ke anak.

Masih latihan kok, tenang.. hehe. Saya tidaklah seahli itu.

Kemudian saya menahan diri. Semoga saja pendiktean dini ini hanya sesaat semata (ha-ha). Kadang geli juga sih, membayangkan kalau Faruki  besarnya tiba-tiba mau jadi seniman serius. Teringat bagaimana ibu saya dulu sangat menentang niatan saya itu. Apakah sejarah akan terulang kepada anak saya? Fyuh.. rupanya saya memang harus siap mental dari sekarang.

Iya. Anak kita mungkin tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan. Sejak lahir, tumbuh, sampai mereka dewasa. Yang kita lakukan hanya merencanakan yang terbaik, memberi pengalaman sebanyak-banyaknya, dan mendidik mereka sesuai fitrahnya. Ya fitrah ke-Islam-annya (karena saya Muslim), ya fitrah gender-nya, dsb. Sosmed, bukanlah parameter pencapaian anak. Biarkan dia tumbuh sesuai dengan lini masa dia sendiri. Bukankah setiap orang itu unik? (roury, 2019).

Sumber.

Jadi.. sembari melalui hari-hari dengan penuh cinta untuk Faruki, sepertinya malah saya yang gak sabar ber-sim salabim ria menantikan kejutan-kejutan itu. Menyaksikan tumbuh-kembangnya bagaikan mengamati sebuah keajaiban yang nyata. Ah.. terima kasih ya Alloh.

Ah.. bener juga. Kalau masih punya sifat panasan dengkian julidan, sebaiknya unfollow deh akun-akun eksibisi pertumbuhan anak itu. Yang penting kita sudah berusaha melakukan yang terbaik. Toh, semuanya terjadi gak kebetulan. Memang sudah diatur-Nya.


No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!