20.7.23

Dua Tahun Setelah Itu

Kaget, deh. Ternyata postingan tahun lalu adalah tentang "Satu Tahun Berpulangnya Ibu". Lalu saya tidak menulis apapun sampai setahun setelahnya. Benar. Sekarang dua tahun setelah ibu pergi. Kini, perasaan sesak itu masih terasa. Agaknya kita memang tidak dapat benar-benar berhenti berkabung untuk kepergian orang yang betul-betul kita sayangi. Terutama ketika memori tentangnya terus berseliweran di benak. Seperti ada hal-hal yang belum selesai. Namun bagaimana menyelesaikannya kini? Saat beliau sudah tak dapat kita ajak komunikasi lagi.


Dalam dua tahun ini, ada beberapa hal yang saya sering pikirkan. Misalnya:

Mengais-ngais Kenangan

Gambaran saat empat hari sebelum Ibu berpulang sulit saya hilangkan dari hati dan kepala. Saat itu saya tidak pernah menyangka bahwa empat hari itu adalah waktu yang betul-betul tersisa untuk saya dapat berbakti secara langsung kepada beliau. Penyesalan berikutnya tentu, kenapa waktu itu saya tidak bermanis-manis? Tidak berusaha lebih?


Namun yang saya masih selalu gali sebetulnya bukan empat hari itu. Saya menggali lebih dalam lagi. Kenangan saat kami tersenyum bersama. Di rumah kami yang bentuknya belum seperti sekarang. Saat bebungaan favorit Ibu masih terhampar luas di pekarangan. Belum dikerangkeng dalam pot-pot plastik kecil dengan akar berdesakan karena pekarangan itu kini telah beralih rupa menjadi lantai keramik dan dinding bercat putih lainnya.

Yah. Itu jauh saat kami masih anak-anak. Saat semua begitu menyenangkan. Saat semua orang masih ada. Tidak ada duka atau rasa kehilangan dalam waktu yang sangat lama. Di sanalah tempat yang menyenangkan untuk dilamunkan itu. Ada rasa ketergantungan yang aneh dengan semua itu. Yang selalu saya kunjungi sebelum saya tidura. Berharap jika dipikirkan dengan dalam-dalam, saya dapat bertemu Ibu dalam mimpi.

Inner Child, Sandwich Generation dan Konsep-konsep Konyol yang Keterlaluan Digembor-gemborkannya di Masa Kini

Saya menemukan arti "inner child" saat ngaji Bengkel Diri di tahun 2019 lalu. Ibu masih ada. Setelah itu saya merasa banyak menyalahkan pengasuhan orangtua saya. Saya begini karena mereka. Seharusnya mereka begini dan begitu. Dan seterusnya.


Mudah-mudahan orang lain tidak sesalah kaprah saya dalam menanggapi berbagai istilah pengasuhan masa kini, sih. Karena jujur saja. Saya pernah terpengaruh. Penyesalan saya cukup besar karenanya. Tidak bijak menyalahkan orangtua yang begini dan begitu. Terlebih karena kebaikan mereka jauh lebih besar dibanding "cacat" asuh yang kita tuduhkan setelah mendengar istilah-istilah itu. Apalagi saat setelahnya kita jadi merasa lebih baik dari orangtua kita. Hmm. Jika dipikir lebih jauh, di masa depan, saat anak-anak kita sudah menjadi orangtua juga, cacat asuh apa yang mereka temukan dari diri kita? Tentu kita juga tidak mungkin luput dari salah, bukan?

Maaf, ya, Bu. Untuk segalanya.

Memaknai Kematian

Setelah ibu tak ada, barulah saya memahami mengapa kematian disebut sebagai kiamat sughro (kecil). Karena bagi yang ditinggalkan, ternyata rasanya sungguh tak terlukiskan menyedihkannya. Memang, Alloh tidak "mengambil" sesuatu melainkan ada pelajaran yang didapat dari hal tersebut. Seperti yang terjadi pada saya segera setelah kami berjalan meninggalkan pemakaman ibu.


Saat itu, kami sekeluarga adalah yang terakhir pulang. Saya melihat berkeliling. Teringat di sebelah kanan saya ada makam Aki T, Bapaknya Ibu. Di bawahnya ada Uu E, Ibunya Enin (Neneknya Ibu). Ada juga Aki dan Enin yang adalah orangtua Bapa. Sudah lama kami tidak mengunjungi makam-makam itu. Membuat saya berpikir,

"Berapa generasi sebenarnya, yang akan mengingat kita dengan baik lalu berkunjung ke makam kita - atau setidaknya mendo'akan kita?"

Jadi teringat lagi bahwa anak yang sholih/sholihah adalah investasi akhirat para orangtua. Namun berapa generasi? Jika semua sudah pergi, apa yang dapat kita andalkan berikutnya? Masih ada dua poin untuk investasi alam kubur. Entah berapa besarnya, janji Alloh tidak pernah salah. Yang membuatku berpikir juga tentang:

Ilmu Ibu yang "Hilang" Bersama Ibu

Beberapa waktu sebelum Ibu pergi, saya mengajak Ibu menulis buku dan membuat video-video tutorial. Tentang pengalaman Ibu, tentang ilmu menjahit, bahkan Basa Sunda. Namun semua itu hanya ajakan belaka. Penyesalan saya yang besar sekali karena tidak pernah tanggap dalam mengerjakan wacana yang kami sepakati bersama. Karena memang benar, banyak sekali ilmu yang hanya diketahui Ibu di keluarga kami. Salah kami, sih, yang tidak langsung "memunguti"-nya selagi Ibu masih ada. Kami semua dulu terlalu sibuk dengan ilmu lain yang kami minati. Hingga segala ilmu penting itu kini jadi ditelan bumi. Sayang sekali, bukan? Padahal bisa jadi investasi lagi. Untuk Ibu. Juga kami.


Tentang Dendam dan Utang

Dijuduli begini, tapi saya tidak tahu apakah orang lain merasakannya. Beberapa saat setelah Ibu meninggal, kami sekeluarga lumayan merasakan emosi yang bercampur aduk. Salah satunya: marah. Tiba-tiba kami teringat tentang utang orang-orang yang tak dibayar kepada ibu kami. Atau rasa sakit hati Ibu akan kedzaliman beberapa orang yang pernah beliau ceritakan sambil berderai air mata. Kami berempati begitu dalam. Sampai rasanya lumayan benci pada orang-orang yang pernah menyakiti beliau itu.


Alhamdulillah, berangsur-angsur kami semua ikhlas. Tentu kami tidak mau hal-hal yang menguras hati Ibu tereskalasi ke mana-mana. Kasihan Ibu di sana. Pada akhirnya saya jadi mengerti mengapa do'a untuk berbelasungkawa ini umumnya berisi, "Semoga yang ditinggalkan dapat ikhlas."

Karena mengikhlaskan "segalanya" tidak mudah.

Jembatan Sosial

Kami baru sadar bahwa ternyata yang mengikat kami semua adalah ibu. "Kami" yang dimaksud di sini jauh lebih besar. Para tetangga, keluarga besar, bahkan orang-orang yang dikenal keluarga. Saya dengar, berbuat baik pada teman-teman Ibu adalah kebaikan yang perlu diwarisi oleh keluarga juga. Jadi walaupun tidak sesupel Ibu, mudah-mudahan kami sekeluarga dapat memelihara jaringan silaturahim yang ditinggalkan ini. Tidak mudah, lo. Dengan segala tabiat kami ini. Tapi perlu. Bukankah Rosul juga yang menganjurkan?


Setelah ini saya juga makin disadarkan. Di tempat tinggal kami sekarang, sudah sedekat apa kami dengan orang-orang sekitar? Pernahkah kami berbuat baik kepada tetangga kami? Walau akan sulit jika harus sedekat orang-orang di desa, tapi tidak ada salahnya dicoba, bukan? Siapa yang nanti mengurus jenazah kita saat kita meninggal? Padahal kita seharusnya saling menjaga.

Bapa

Selalu terharu jika melihat rasa sayang dan hormat Bapa kepada Ibu. Bapa tidak pernah mengganti foto profil Whatsapp-nya hingga sekarang. Selalu foto yang itu. Foto favoritnya berdua Ibu. Kata Bapa, Ibu paling cantik di situ. Bukan foto terbaik. Tapi Bapa suka. Semoga Alloh hadirkan ketenangan dalam hati Bapa. Menyayangi Ibu senantiasa dalam lantunan do'a dan menyuburkan kenangan baik tentangnya.

Bapa dan kami juga.



.

Andai Ibu bisa membaca ini, begitulah yang Eneng rasakan, Bu. Semoga kita dapat reuni kelak di tempat yang baik. Dekat dengan Alloh dan termasuk orang-orang yang selamat.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!