10.8.23

Drama Ibu Rumah Tangga di Era Informatika

Ini yang sering saya katakan dan masih bertahan sampai sekarang: saya tidak pernah merasa cocok menjadi ibu rumah tangga (saja). Hingga kini, saya masih merasa “wajib” untuk punya kehidupan dan peran lain di luar kerumahtanggan. Jika ditanya alasannya, mungkin karena saya sekolah cukup lama (ha-ha), pernah menjadi perempuan pekerja cukup lama, dan ada harapan orangtua yang mengimbau saya untuk berbuat “lebih”.



Sekolah Cukup Lama

Taman kanak-kanak 1 semester, ditambah 11 tahun pendidikan dasar dan lanjutan, serta 4 tahun di strata 1. Di rumah, layaknya para orangtua generasi boomers lainnya, kita para milenial tidak banyak dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Yang kita kerjakan betul-betul minimal, ya ‘gak sih? Cuci baju seragam sekolah, sepatu, dan ngepel lantai sepekan sekali saja sudah cukup.

Masa kecil dan lingkungan yang demikian membuat saya merasa bahwa saya benar-benar tidak dipersiapkan untuk menjadi IRT.


Pernah Bekerja

Ada gap year selama setahun lebih sejak lulus, sampai saya mendapatkan pekerjaan pertama saya - dan bahkan saya cukup ngeyel untuk memperolehnya (ha-ha). Percayalah. Setahun itu rasanya sangat amat tidak enak. Memang tidak nganggur-nganggur amat, sih. Karena masih ada orang baik yang mempekerjakan saya untuk membantu penelitian S3-nya meliputi menerjemahkan jurnal, membuat presentasi dan proposal penelitian. Pernah juga ngajar les komputer yang entah kenapa muridnya cuma datang di kelas saya dua kali saja :(. Hingga kemudian akhirnya saya bekerja, rasanya seperti menemukan oase yang tak terbayangkan di tengah gurun pasir luas.


Jujur. Bahkan dengan segala keluhan khas anak muda dua puluh tahunan itu,
bekerja dan mandiri secara finansial itu ENAK BANGET, lo. As in, akhirnya kamu bisa beli ini dan itu, pergi ke sini dan ke sana, bahkan nonton konser penyanyi favoritmu. Namun tetap ada yang kurang. Karena hamba ingin settled di suatu tempat. Bersama seseorang (ceilah). Membangun keluarga.

Hingga akhirnya di tahun 2018, setelah menikah, saya memutuskan untuk “menetap” di suatu tempat bersama suami saya. Menjadi IRT.

Harapan Orangtua Terhadap Saya: Be More, Do More, Get More

Yang pertama kali terlontar dari orangtua saat saya memberitahu mereka bahwa saya akan resign adalah:

“Yakin bisa jadi IRT? Bisa masak? Bisa bersih-bersih? Di rumah aja ‘gak pernah cuci piring. Apa-apa dibantuin orang. Ngarumas, keh.”

(Halah gampang, pikir saya waktu itu. Gampang ceunah).

Iya juga, sih. Keputusan resign yang mendadak itu tidak dipikirkan matang-matang karena keadaan yang mendorong saya demikian. Jadi saya tidak punya rencana apa-apa. Hanya ingin tinggal dengan suami. Hidup normal dan memelihara keluarga dengan wajar. Ditambah, kami bersepakat untuk tidak LDM lama-lama.

(Btw, saat itu saya habis dikuret juga. Jadi perlu banyak istirahat dan ‘gak terpikir untuk bekerja lagi sebelum punya anak - dan usia saya sudah mau kepala tiga!)



Benar kata orangtua, pengalaman memasak saya sangat minim. Walau tentu saya bisa cuci piring. Atau menyapu dan mengepel. Waktu muda, kemalasan dan kelabilan mencegah saya mengerjakan pekerjaan domestik di rumah. Satu-satunya yang saya pedulikan cuma belajar. Dan bahkan dengan kerjaan saya yang cuma belajar itu, saya tidak cum laude, lo. See? Penyesalan memang datangnya belakangan. Tapi, masa harus nyerah? Suami juga meyakinkan saya bahwa tidak sulit “mengurus” kami. Sama-sama belajar dan berperan saja.

Maka sejak Maret 2018 itu, resmilah saya menjadi seorang ibu rumah tangga.





Namun, sebelum tinggal berdua suami di kontrakan pertama kami di Bekasi itu, saya tinggal beberapa lama di rumah orangtua. Saat itu, saya sering dibawa ibu berbelanja ke pasar. Biasanya cuma mengantar, kali ini saya harus benar-benar memperhatikan. Bagaimana memilih telur, ayam, daging, membedakan rimpang satu dengan lainnya (dulu bagi saya, mereka semua sama), bahkan mempersiapkan perkakas rumah tangga. Ibu memilihkan pisau dapur, ulekan, talenan, dan beberapa benda lain yang masih saya pakai sampai sekarang. Juga ada kursus memasak kilat di rumah. Saya praktikan tatkala suami mampir di akhir pekan. Saya belum pede masak di rumah.



Di bulan Agustus, saya pun memulai kehidupan saya sebagai IRT di Bekasi bersama suami saya. Bagaimana rasanya? Mereka bilang, awal-awal kehidupan pasca resign dari pekerjaan tuh like a bliss, lo. Bagi saya? Enggak banget. Seharian saya bosan. Kerjaan saya “cuma” bebersih, ngulik masakan, dan selebihnya main game. Kadang-kadang ada teman ex kantor yang mengajak ketemuan. Seru, sih. Saat itu belum terasa “timpangnya”. Jadi saya merasa baik-baik saja. Di waktu lainnya, saya bepergian sendiri. Mengunjungi Pameran Sketsa, berobat ke RS, dsb. Hidup di Bekasi membuat saya tetap mandiri. Ke mana-mana naik KRL atau ojol. Masih akrab dengan TJ juga kalau sedang ke Jakarta.





Oh ya, kami sempat berganti kontrakan. Di rumah baru, ada tetangga-tetangga baik. Awalnya saya takut sekali. Resah membayangkan jadi IRT di tengah-tengah komplek padat penduduk. Harus bagaimana jika bertemu orang? Apakah saya juga harus nongkrong-nongkrong bersama mereka agar “diakui”? Sementara saya pernah punya pengalaman kurang baik saat hidup merantau di masa lalu dan tinggal di tengah-tengah para IRT perumahan. Pikiran saya sudah macem-macem, pokoknya. Namun, ini beneran. Tetangga-tetangga saya yang notabene lebih senior, ternyata adalah tetangga-tetangga terbaik yang pernah kami temukan.

Kadang-kadang lucu juga kalau sudah diingatkan ikut pengajian sama Bu Ustadzah yang rumahnya persis di seberang kami. Atau diajak ngobrol lamaaa banget sama tetangga sebelah rumah. Di gang itu, juga banyak kenduri. Masih kental suasana hajatan dan pengajian ibu-ibu. Jadi hampir setiap pekan saya punya “kegiatan” membaur bersama ibu-ibu lain. Dan semuanya tidak buruk. Saya jadi jarang main game (he-he).



September 2018, saya punya kegiatan baru di akhir pekan. Belajar menulis cerita anak dari ahlinya: Ibu Reda Gaudiamo. Jadilah beberapa pekan itu saya merasa “hidup”. Walau jujur saja, murid-murid lainnya kalau bukan penulis ya pembaca buku akut. Saya sudah lama tidak membaca buku. Jadi banyak sekali yang perlu dikejar.



Bulan berikutnya, ternyata mendapat anugerah besar: saya hamil lagi! Di saat yang sama, salah satu sketsa saya terpilih untuk dipamerkan di Galeri Nasional. Karena dua kehamilan sebelumnya tidak berjalan lancar, saya mulai mengurangi kegiatan dan bepergian sendiri. Ngidamnya lumayan berat. Sesekali, Ibu dan Bapa menginap di rumah menemani kami.

Lalu selagi hamil itu, saya juga sempat ikut les Bahasa Arab. Sayangnya, tempat yang cukup jauh dari kontrakan membuat saya berhenti setelah dua bulan.

Singkatnya, Mei 2019, anak pertama kami dilahirkan secara dramatis (he-he kayaknya semuanya dramatis buat saya mah) di Bekasi. Saat itu bulan Ramadan. Yang berujung pada, kami tidak bisa mudik di lebaran tahun itu. Namun, di hari lebaran, tetangga kami berkunjung pagi-pagi sekali, membawakan opor dan ketupat. Tadinya kami tidak akan ikut halal bihalal karena, yah, mata kami berdua masih sembab habis begadang bersama bayi kami yang baru berusia dua pekan. Alhamdulillah, Lebaran kami ternyata baik-baik saja.



Kehadiran bayi kecil ini membuat kehidupan kami berubah. Saya yang berencana mencari kerja lagi jika ia sudah cukup besar untuk “ditinggal”, harus merevisi rencana itu karena ternyata anak kami sempat sakit TB Paru dan perlu pengobatan intensif di rumah. Ditambah adanya pandemi pada awal 2020, yang mana lalu lalang orang sangat dibatasi, maka benar-benar deh, saya tidak punya pilihan selain menjadi IRT murni. 

Huft.

Puncaknya adalah saat Ibu berpulang ke haribaan-Nya. Saat itu, usia anak pertama kami baru dua tahun. Baru dikhitan dan disapih. Ibu yang selalu menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membantu mengurus cucunya yang ini. Sampai saya berpikir sepertinya saya tidak bisa “mempercayakan” anak-anak saya kepada orang lain selain Ibu. Mau bagaimana jika Ibu sudah tidak di sini? Tentu kami harus bertanggung jawab “sendiri”. Pernah, kami mencoba mendelegasikan beberapa pekerjaan rumah tangga kepada seseorang. Tapi entah deh. Belum rejeki kami untuk mendapatkan yang tolerable. Yang sepadan dengan bayarannya.

Makin ke sini, usia saya juga makin tua. Di tahun 2022, Ryu pun lahir. Semangat ya, supaya masih kuat mengurus anak sebelum keburu tambah ringkih. Makin posesif sama anak-anak juga, kalau boleh dibilang. Memang, saya juga tidak diem-diem bae. Ada waktu untuk belajar, saya belajar. Ada komunitas yang cocok, saya ikuan. Bahkan dagang buku secara daring. Tetap saja rasanya kurang. Walau introver, kadang saya butuh berbicara soal hal lain di luar kerumahtanggaan dengan orang lain.



Rasanya kurang… terus. Apalagi kalau… kebanyakan mengintip kehidupan orang di media sosial!

Jadi IRT di era informatika memang berat. Di satu sisi, tanpa medsos, jadinya FOMO. Dan rasanya kayak tinggal di gua, gitu. Karena di rumah terus, minimal lihat internet gitu supaya tahu ada apa di luar sana. Sisi lain, media sosial dan internet kadang punya ombak yang gede banget. Salah-salah, kita tenggelam. Merasa tidak bahagia, dan sebagainya. Atau kadang, selepas menengok medsos, ada juga yang merasa over proud. Padahal IRT dari dulu juga ada. Kenapa IRT masa kini suka pada adigung, dah? 

(Semoga kita enggak, ya. Kayak, banyak banget yang bisa dibahas biar keliatan “berdaya” dibanding minta dimaklumi begini dan begitu.)

Satu hal yang perlu diingat sebenarnya, bahwa apa yang tampak di media sosial itu hanyalah serpihan kecil yang sengaja ditampakan oleh pengunggahnya. Yang seringnya, berisi hal-hal berkilauan saja. Hingga terasa silau untuk yang melihat tanpa kacamata bijak. Saya selalu percaya bahwa setiap orang punya kadar perjuangan yang sama besarnya. Kita saja yang tidak tahu.



Bahkan Mama Gigi dan Mama Nikita Willy pun punya perjuangan (yang beda dari kita ofkors). Fokus ama perjuangan masing-masing saja. Betul?


No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!