30.10.18

Pesawat

Pesawat (terbang) memberikan banyak sekali kenangan buat saya. Saya pernah jadi pengunjung bandara reguler selama hampir tujuh tahun, dan tentu semuanya sebagai penumpang pesawat tertentu. Menjadi petugas antar jemput tamu kantor hanya sesekali saja. Selainnya, dinas luar.

Saya tidak pernah pilih-pilih maskapai. Yah, ada sih yang saya pilih hanya jika tidak ada pilihan lain. Entah reputasi delay-nya, entah pertimbangan harga tiketnya. Yang jelas selebihnya buat saya semua pesawat sama saja.



Namun saya selalu sedih setiap berada di bandara. Rasanya sepi walapun di keramaian. Tapi senang ketika sudah berasa di dalam pesawat, karena tiba di tempat tujuan hanya kedipan mata saja. Secara harfiah seperti itu karena saya lebih banyak ketiduran di dalam pesawat. Hihi. Dan senang yang ke dua, adalah karena do’a orang yang sedang safar (bepergian) itu mustajab. Maka saya manfaatkan waktu terjaga saya untuk berdo’a macam-macam. Keselamatan, pasti. Jodoh, ya waktu belum menikah. Setelah menikah, do’a-nya lain lagi. Waktu itu, minta disegerakan dan dikuatkan untuk tidak LDR lagi. Kesehatan keluarga, juga. Dan lain-lain, sesuai keperluan. Namun yang paling utama, adalah do’a agar husnul khotimah.

Saya tidak pernah tahu apakah saya akan selamat atau tidak selama berada di dalam pesawat ini. Ibaratnya sebuah ruang tertutup. Terkatung di langit. Anda mau kabur kalau ada apa-apa pun, ke mana? Anda tidak bisa berharap pada apapun di sana. Semua protokol keselamatan sesuai arahan flight attendant saya kerjakan, dan lembar tata cara evakuasi sering saya baca. Penguat hati saya, salah satunya adalah bahwa secara statistik, orang lebih mungkin celaka pada perjalanan darat seperti di mobil atau sepeda motor daripada di pesawat. Namun walaupun begitu, memang kecelakaan pesawat biasanya fatal. Setelah itu, hanya pasrah. Maka tidak ada yang bisa diharapkan kecuali pertolongan-Nya. Ridho-Nya. Jika saya tidak selamat di sini, yang saya do’akan hanya agar saya tidak meninggal dalam keadaan tidak ingat Dia.


Juga orang tua. Saya kabari mereka segera sebelum take off. Sebelum flight attendant mengingatkan berulang kali agar ponsel dimatikan. Tidak mau pergi dalam keadaan tidak diridhoi orang tua. Dalam keadaan tertentu, saya bahkan menginfokan nomor penerbangan saya.

Begitu setiap kali.

Namun setiap kali juga, setiap terdengar berita pilu mengenai pesawat yang gagal mendarat, gagal terbang, gagal bertahan, dan gagal-gagal lain yang tidak pernah saya pahami kenapa, saya selalu waswas. Sedih apalagi.

What if I were there? Would I be safe? Would I be safe after that?

Siapa saja di dalam sana? Apakah saya mengenal mereka? Apakah saya pernah bertemu dengan mereka?

Ya. Ini terjadi kemarin. Kota tujuan pesawat yang nahas itu adalah salah satu kota tempat saya dulu sering dinas luar. Saya mengenal banyak sekali orang di sana. Berulang-ulang saya menunggu kabar di IGstory. Juga manifest penumpang yang zaman sekarang entah kenapa mudah sekali ditemukan di berbagai forward-an WAG.

Ternyata tidak ada yang saya kenal baik. Namun satu orang, yang saya perhatikan, saya seharusnya pernah bertemu dengannya di kota itu. Tidak asing. Banyak teman saya yang berteman baik dengannya. Seketika rasanya sedih. Untuk orang yang tidak kita kenal pun, kita bisa sangat sedih. Apalagi orang yang pernah kita tahu keberadaannya?

Kemudian sesuatu terngiang-ngiang lagi. Teman kampus, teman SMA, yang sangat akrab dengan saya. Mereka juga sudah pergi lebih dulu di usia yang masih sangat muda. Rasanya aneh. Orang yang biasanya ada, lalu tiba-tiba tidak ada.

Could I handle this, when “it” come to someone I know, someone close, or even me?

Saya belum tahu.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!