Sejujurnya kadang saya merasa sangat Squid Ward kalau sudah menyangkut urusan bertetangga ini. Hi-hi. Saya yang sejatinya introvert, kadang kekurangan energi saat berbenturan dengan pakem “harus baik-baik sama tetangga”. Hmm.. saya ternyata tidak sendiri. Kemarin mendengarkan podcast yang menceritakan pengalaman seorang introvert yang serumah dengan ekstrovert di masa pandemi ini. Awalnya mereka bahagia-bahagia saja. Karena mereka semua bekerja dan tidak terlalu sering bertemu. Masalah justru muncul saat mereka terkurung di rumah dan mau tidak mau harus berinteraksi. Maksudnya, kebutuhan mereka ‘kan cukup bertentangan ya. Yang introvert butuh waktu menyendiri agar produktif. Sementara yang ekstrovert butuh berbincang, butuh makan bersama, dan bertatap muka lainnya. Ini membuat mereka cukup sering bertengkar.
Akhirnya, si introvert ini memilih jalan yang cukup ekstrem yakni dengan tidak bertemu sama sekali dengan si ekstrovert. Si introvert akan tidur saat ekstrovert bangun dan sebaliknya. FYI, si ekstrovert ini adalah ibunya si introvert.
Miris, ya?
Padahal, saya cukup yakin bahwa menjadi introvert bukanlah label yang melekat kuat dan tidak dapat diadaptasikan dengan berbagai situasi. (Beberapa orang memilih jadi kaum rebahan hanya karena merasa diri introvert). Sehingga, mewarnai kehidupan bertetangga pun sangat bisa diusahakan. Maksud saya, siapa sih, manusia yang introvert-nya separah itu sehingga tidak butuh manusia lainnya sama sekali? Dan, dalam usaha adaptasi dengan lingkungan (dan anjuran Rosululloh) ini, ternyata mempunyai tetangga yang ekstrovert adalah salah satu jalannya.
Ini pernah kejadian waktu masih di Bekasi. Tetangga saya, ibu-ibu akhir empat puluhan yang sangat butuh ketemu orang dan ngobrol. Tiap hari ia nongkrong di depan rumah. Kadang kalau saking tidak adanya teman ngobrol, dia akan ramah-tamah dengan petugas PDAM yang mengecek meteran air setiap bulan. Atau nenek-nenek yang kebetulan lewat. Atau anak-anak tetangga yang berhamburan mencari mangsa bel rumah untuk ditekan sebelum kabur pas penghuni rumah keluar. Atau mak penjual nasi uduk. Atau saya.
Awalnya agak jengkel. Kalau kebetulan ketemu dan ngobrol, bisa berjam-jam soalnya. Walaupun kemampuan basa-basi saya sudah jauh meningkat sejak kerja, namun kalau terlalu lama jadinya capek. Di sinilah skill bertetangga lanjutan (ada novice, beginner, sama advance ha-ha.. udah kayak game aja) dibutuhkan. Bagaimana cara pelan-pelan keluar dari situasi mengobrol tanpa berkesan kabur atau kasar. Otak ini biasanya bekerja keras mencari alasan. Waktu belum ada anak, cukup sulit ternyata. Karena saya juga IRT. Ibu-ibu yang sudah master dan berpengalaman punya anak di atas tiga biasanya menganggap kerjaan saya remeh. Ya wajar. Seperti Saruman melihat Frodo, lah. Kalau ada anak, anak jadi alasan (maaf Faruki!).
Lama-lama suasana hangat (btw ibu-ibu ekstrovert hobi berbincang-tetangga di atas itu cukup banyak di sekitar rumah) ini menjadi kebiasaan. Agak menjadi kebutuhan, malah. Dan kemudian rasanya sepi ketika di lingkungan rumah yang baru ini, para tetangga tidak cukup outgoing untuk sapa-sapa atau basa-basi. Padahal culture wise sih harusnya tidak begini. Yaa banyak ibu muda yang bekerja di luar juga sih. Rasanya jadi hampa.
Ditambah sebulan kemudian tiba-tiba isu Corona berhembus. Wuff.. kehidupan gang kecil ini menjadi kian hampa.
Untungnya hal ini tidak berlangsung lama. Kami bertetangga dengan pasangan muda yang anaknya lebih bayi dari Faruki (yoi.. ada tingkatannya bayi-bayi ini ya). Selidik punya selidik, dia lumayan ekstrovert. Jadilah kami berteman. Jemur bayi bareng, kadang dia berkunjung ke rumah. Kadang sekadar sapa-sapa pas jemur baju atau buang sampah. Dan sebagainya.
Tidak takut ketularan Corona? First thing first, seperti saya bilang di postingan sebelumnya, saya masuk ke dalam kaum waspada-cenderung-santai. Dalam keadaan seperti ini (Corona Apocalypse? Hii..) kita tersadar bahwa kita adalah makhluk yang sangat sosial. Kering rasanya, tidak ada manusia yang cukup ramah untuk sekedar sapa “balanja bu?” Atau “moyan neng?” Atau “nuju naraon yeuh?”. Bahkan Alloh menciptakan kita bersuku-suku pun agar saling mengenal.
Maka dari itu, si introvert pun perlu belajar untuk sekedar sapa-sapa basa-basi itu. Bagi para ekstrovert, this helps a lot. Fisik memang belum kena Covid-19 (dan jangan sampai kena), namun mental perlu juga dijaga. Hal terkecil yang dapat kita lakukan untuk membantu sesama menjaga diri dari kegilaan ini ya salah satunya senyum-sapa-salam ini lah. Tidak apa dari jauh. Tidak selalu dari Whatsapp atau sosmed juga. Kalau bisa saling tegur dari jarak 3 meter ya kenapa enggak?
Tapi kenali sinyal juga. Si introvert harus tahu saat ekstrovert butuh teman. Dan sebaliknya. Biar energi tetap terjaga.
Ah. Bertetangga tidaklah seburuk itu. Di masa pandemi ini malah bersyukur ada tetangga yang baik. Dan kita yang Squid Ward ini kadang harus berdamai dengan situasi. Bisa jadi kita perlu Sponge Bob, Patrick dan teman-teman “bising”nya kan?
Sumber. |
Dari Abdullah ibnu ‘Amru ibnul ’Ash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ، وَخَيْر الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ [تَعَالَى] خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
“Teman terbaik di sisi Allah adalah mereka yang terbaik dalam berinteraksi dengan temannya. Dan tetangga terbaik di sisi Allah adalah mereka yang terbaik dalam berinteraksi dengan tetangganya.” (Shahih) Lihat Ash Shahihah (103): [At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fi Haqqil Jaar]
(Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/1610-tetangga-yang-baik-dan-tetangga-yang-jelek-2.html )
No comments:
Post a Comment
WOW Thank you!