25.4.20

Masked Rider Kuu-ki (Cerita Corona 6)

Pernah baca edaran dari IDAI belum sih? Yang menyoal pentingnya menjauhi Rumah Sakit dan Faskes berpotensi crowded lainnya. Ya apa lagi alasannya kalau bukan karena Covid-19. Kecuali kalau ada keadaan darurat. Hmm bagi ibu-ibu yang pegang anak bayi yang belum “lulus” vaksinasi wajib, pastinya galau sekali ya. Apalagi kalau fasilitas kesehatan (faskes) terdekat adalah rumah sakit. Bukan rumah vaksin. Sekarang sudah mulai diterapkan PSBB juga. Makin terbataslah pergerakan.

Maksud saya, saya masih cukup yakin bahwa RS adalah salah satu tempat yang paling banyak kumannya. Apalagi di ruang tunggu pasien. Harusnya ada sekat gitu ‘gak, sih? Antara yang ada potensi menular dan tidak. Kita juga tidak pernah tahu jangan-jangan di situ ada yang suspect kena Covid-19?



(waspada ya sist, bukan parno ini mah).

Apalagi kalau Faruki ada jadwal kunjungan ke dokter anak. Di ruang tunggu, saya pasti ketar-ketir sendiri (berdua Mr. Darcy sih). Anak-anak yang batuk, pilek, demam segala macam bercampur di satu ruangan. Mereka ‘kan belum paham protokol kesehatan. Belum tahu harus menutup hidung kalau bersin. Atau menutup mulut dengan sikut saat batuk. Atau maskeran. Maka tugas orang tuanya lah yang seharusnya lebih memperhatikan hal ini. Kasihan dong, kalau anak orang lain tertular kuman yang dibawa oleh anak kita hanya karena kita abai menerapkan disiplin dan mendidik anak agar patuh protokol kesehatan?


Di masa pandemi ini, Faruki juga memang ada jadwal ketemu dokter anak. Kami galau bukan main. Yaa terutama karena Faruki masih bayi yang belum bisa disuruh tutup mulut kalau batuk atau tutup hidung kalau bersin.

Namun berkat DM ke salah satu doktergram (DSA ber-Instagram tuh bener-bener sebuah berkah lo jadiii makasih buat semua DSA yang bener-bener memberikan edukasi kepada khalayak awam tukang Googling macam awak), saya akhirnya memutuskan tetap ke RS.



Namun betapa pun beratnya keputusan kami membawa Faruki ke RS, tetap ada protokol yang harus dijalankan. Misalnya cuci tangan, jaga jarak fisik dengan orang lain, juga pakai masker.

Yang pertama dan kedua masih dapat dijalankan bertiga. Lha yang ketiga? Bayi memangnya mau pakai masker? Hi-hi. Usia Faruki sedang “gencar” menarik dan membuka sendiri semua yang dipasangkan orang tua di muka dan kepalanya. Dipakein topi aja kadang dibuka sendiri. Apalagi masker. Tidak cuma itu. Kadang masker orang tuanya jadi korban “latihan” tangan juga.

Ada sih yang memberi tips supaya maskernya dipasangkan saat anak sedang tidur pulas. Jadi pas bangun, sudah “terbiasa”. Ini sayangnya belum berlaku buat Faruki. Masih risih. Mungkin bentukan maskernya juga memang kurang pas untuk dia? Tidak tahu juga.



Akhirnya setiap kami ke RS, maskernya cuma dijadikan celemek. Which is butuh pembiasaan berpekan-pekan juga awalnya, agar ia mau mengenakan celemek (biasanya dilatih pas jam makan). Karena itu juga, pulang dari RS biasanya Faruki langsung saya “cuci”. Takut juga kuman-kuman bersarang di badan kecil jagoan kami itu. Padahal cuma dipakai satu-dua jam. Hi-hi.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!