26.4.20

Enin Kami, dan Cita-cita Pasca Pandemi (Cerita Corona 7)


إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ 
"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,..."
(QS Al ‘Isro 7).

Ayat ini betul-betul membekas di hati pada saat musibah menimpa keluarga sepekan lalu. Nenek kami, Enin, meninggal dunia. Bukan karena Covid-19 insyaa Alloh. Namun meninggal dunia di situasi ini subhanalloh sekali ujiannya. Saya sebagai cucu yang rasanya paling dekat dengan beliau, tentu mungkin yang paling baper dengan kejadian ini. Bayangkan. Jumlah pelayat dibatasi per kedatangan. Ada petugas RT yang berjaga. Lalu, kadang tanpa kata-kata bela sungkawa apalagi menyemangati, yang berada di luar kota dihimbau untuk tidak datang. Termasuk saya.

..

Sebenarnya Enin sakit parah sejak kami pindah ke Bandung. Lima bulan berada di rumah ibu, setiap hari berinteraksi dengan Enin, sungguh bukan waktu yang sebentar. Apalagi Enin memang sudah ikut tinggal di rumah sejak umur saya dua tahun. Sempat sekamar juga dengan saya sampai  masuk SMP. Ke mana-mana sering diajak.

Hobinya ziarah ke makam ulama. Banyak pengalaman bepergian yang lebih luas dibanding orang seusianya di tempat kami. Dan beliau juga pejuang tangguh. Menjadi orang tua tunggal bagi ibu sejak lahir karena berpisah dengan Aki. Jadi buruh tani, penjahit, apapun asal ibu dan uwa sekolah sampai SMA. Dan itu sudah sangat mewah di desa kami saat itu.

Sedikit banyak hal ini mempengaruhi nilai dan cara pandang para perempuan di keluarga kami terhadap kehidupan. Bahwa perempuan harus tangguh. Mental baja. Untungnya ibu, juga saya, dipertemukan dengan suami yang baik yang tidak menganggap istrinya adalah “hamba” semata. Sebagaimana budaya di tempat kami berada. Makanya saya alhamdulillah tidak pernah merasakan dunia patriarki atau misoginis. Semua punya peranan masing-masing. Tidak perlu iri dengki.



(Namun benci sekali kalau harus berinteraksi dengan misoginis. Apalagi predator. Hiiy).

Beberapa kali Enin sakit parah. Seperti mau pergi. Tapi yang kali ini, ketika kita semua sudah merasa “ah nanti juga sembuh lagi”. Eh ternyata Enin pergi betulan.

Sedih sekali. Sungguh.

Terutama saat mengingat dan meresapi betapa sepi hidupnya sepuluh tahun ini. Sangat menyesal, mengapa tidak memperlakukan Enin jauh lebih baik lagi yang saya bisa. Enin hanya ingin suasana yang hangat.. didengarkan.. diikutsertakan berbagai hal. Namun dunia kami seperti telah berbeda. Ada jarak. Dan itu nyata terasa saat saya tinggal di rumah selama lima bulan itu. Walaupun kami sering berinteraksi namun lebih kepada urusan teknis. Enin sangat suka Faruki. Saya membiarkan mereka bermain. Tapi ya begitu saja.

Mungkin suasana hangat yang diidamkan Enin belum cukup terasa..



Saya masih ingat kalimat yang diucapkan Enin dengan terbata-bata beberapa hari sebelum kami pindah, yakni sebulan sebelum beliau pergi.

Neng, atuh eneng ka bandung saha deui nu nya’ah ka enin di dieu”.

(Nangis banget ‘gak sih).

Padahal kadang saya masih menggerutu kalau ditegur karena hal-hal kecil. Seperti menyimpan gelas terlalu pinggir meja, atau mandi kesorean, dan lain-lain.

Lalu saat Enin kritis dan mulai tidak ingat berbagai hal.. yang beliau ingat salah satunya adalah Faruki. Cicit kesayangannya. Yang beliau do’akan setiap malam saat saya masih hamil. Baiknya beliau ya.


Itu membuat hati saya sampai sekarang masih teriris. Benar kata Alloh dalam ayat tadi. Ketika berbuat baik, itu ternyata untuk diri kita juga. Hati kita lebih tenang. Namun ketika berbuat buruk, hati kita berkecamuk. Dan itu cukup menghantui. Jujur saya masih banyak berandai-andai, masih ingin bertemu Enin dan meminta maaf. Tentu sangat ingin juga bertemu dalam mimpi. Masih terngiang-ngiang penyesalan. Andai saja saya berlaku lebih baik. Andai saja lebih hangat. Seperti dulu sebelum kami semua dewasa.

Ya Alloh.. pada akhirnya kami cuma bisa berdo’a. Semoga Enin diberikan tempat singgah yang luas, terang, ditemani amal-amal baiknya selama hidup serta do’a dari kami yang masih hidup. Eneng yakin, Enin sekarang cantik sekali. Badannya bugar dan kuat. Bahagia. Ditemani suasana yang hangat, yang kurang dapat kami berikan ke Enin di masa-masa terakhir hidup Enin. Maafkan kami yang kadang tidak paham dengan kebutuhan Enin. Sampai sekarang Eneng masih belum beliin ciput wol buat Enin. Maaf ya Enin..

...

Hikmah Covid-19 bagi setiap orang berbeda. Kejadian ini sangat membuka mata saya. Bahwa kepada semua orang, berikanlah yang terbaik. Terutama orang-orang tua kita. Besarkan empati kita. Tahan diri dari keinginan menang. Mendebat. Membuktikan bahwa kita, atau metode-metode kita, lebih baik dari mereka. Dan semua perilaku yang berpotensi menyakitkan lainnya. Ajal memang tidak ada yang tahu. Bisa saja kita yang pergi lebih dulu dibanding mereka. Namun usia tua adalah keniscayaan.

Yuk. Perbaiki hubungan kita dengan para orang tua. Saat Covid-19 berakhir, mari kembali peluk hangat mereka. Rengkuh dengan segenap cinta. Jauhkan prasangka. Tinggikan baik sangka. Jangan sampai terlambat. Semua pasti terhambat oleh PSBB ini andai hal yang buruk terjadi.

Sekali lagi. Saat kita berbuat baik, ternyata itu adalah untuk kita juga.

Nanti kita ke Sumedang lagi ya, Faruki.

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!