23.4.20

"Praktikum" di Rumah (Cerita Corona 4)

Mengejutkan, ‘gak sih? Saat dikatakan bahwa cuci tangan adalah jalan paling efektif dan gampang dalam mencegah penularan Covid-19? Saya iya. Walaupun sudah rajin cuci tangan, tetap saja masih terpana betapa bermanfaat dan pentingnya kebiasaan itu sekarang. Karena, ada lho, orang yang tidak gemar cuci tangan sehingga hal ini akan jadi tantangan tersendiri: membentuk kebiasaan baru.

Corona adalah virus berselimut (capsid) lemak. Lemak ini dapat “diusir” dengan mudah melalui air. Dan makin efektif dengan adanya sabun. Prinsipnya adalah “like dissolves like”. Kotoran, virus, dan semacamnya secara umum bersifat lemak dan akan dibawa oleh surfaktan dari sabun sehingga tenggelam bersama air.



Hmm.. kalau sudah dijelaskan begini, jadi masuk akal ya. Karena penularannya memang lewat droplet dari batuk atau bersin penderitanya. Tangan sebagai “jalan” droplet ke “gerbang” masuk virus yakni mulut, hidung atau mata (ini masih debatable) dicuci sementara gerbangnya sendiri ditutup dengan masker. Sementara benda-benda lain yang mungkin kecipratan droplet yang mengandung virus aktif, dibersihkan dengan disinfektan.

Btw cari cairan-cairan kimiawi begitu sekarang susah banget.

Yes. Kebanyakan sudah diborong kubu panik Covid-19. Jadi, mau tidak mau, harus putar otak demi menyediakan stok pendukung personal hygiene ini. Padahal secara pribadi, saya yang memang sejak resign dari budak korporat jadi lebih banyak #diamdirumah, rasanya tidak sebutuh itu dengan hand sanitizer. Kalau di rumah 'kan tinggal cuci tangan biasa saja pakai sabun dan air. Iya?

Kubu panik gone wrong. Sumber.

Akhirnya teman-teman alumni kimia jadi rame membicarakan ketiga benda yang “kimia” banget ini: hand sanitizer, disinfektan dan sabun cuci tangan.  Sebenarnya saya sudah punya sebotol hand sanitizer nih. Tapi tetap saja jiwa ibu-ibu yang suaminya tidak kebagian work-from-home ini was-was. Apalagi di awal-awal Covid kesebar di Jakarta. Untungnya beberapa teman ada yang berbaik hati menyediakan hand sanitizer bikinan sendiri (teruji karena yang bikin memang lulusan kimia haha..) dengan harga biasa. Dan hanya dijual untuk kalangan sendiri. Jadi saya beli deh seliter.

Hand sanitizer aman. Suami juga jarang bawa karena di kantornya memang tersedia. Ditambah beliau sudah rajin cuci tangan by default. Aku jadi lebih lega. He-he.

Sumber.

Kemudian disinfektan. Saya telat nyetok sih. Di swalayan, Bayclin sudah diborong orang-orang. Adanya Proclin. Tapi bahan aktifnya pun berbeda. Bayclin isinya natrum hipoklorit. Proclin peroksida. Kegunaannya memang tidak sama. Natrium hipoklorit untuk membunuh kuman (dalam konsentrasi yang tepat). Peroksida untuk spora. (Ini confirmed oleh teman-teman kimia yang berada di jalan yang lurus alias bekerja sesuai jurusan haha).

Akhirnya saya bikin pakai Proclin. Takarannya pun tidaklah sepresisi itu. Wong pengencernya cuma air matang biasa. Bukan akuades apalagi akuabides. Awal-awal sering saya pakai buat semprot-semprot. Lama-lama lupa.
Disinfektan ala-ala begini tersedia hanya supaya hati lebih tenang saja ya ‘gak sih? Karena memang tidak seefektif itu. Masih mending pakai sabun dan air kalau sempat.

Terakhir sabun cuci tangan khusus. Yang saya juga memang biasa nyetok di rumah. Sekarang lebih gencar lagi. Bukan takut tidak ampuh. Yang bikin sabun-sabun jadi beda, hanya aditifnya saja. Yang melembutkan lah, yang mencerahkan kulit lah, dst. Saya pribadi beli sabun khusus hanya karena.. sayang! Ha-ha. Bayangkan, sabun pencerah kulit dan anti bau badan, dipakai cuci tangan saja. Jadi overkill ‘gak sih?
Ya gitu deh. Sebelum beli atau praktikum ala-ala diy di rumah, daripada salah, sebaiknta tanya-tanya dulu kan. Logis enggak. Jangan llupa selalu cek label kemasan bahan-bahan kimia tersebut. MSDS-nya dibaca juga kalau ada. Takutnya malah jadi repot-repotan doang.

(sumber bacaan: diskusi grup alumni kimia Unpad 2006, LIPI online & website health.harvard.edu).

No comments:

Post a Comment

WOW Thank you!