If I get married, I want to be very married. - Audrey Hepburn.
Thus, perhaps one sentence proving women are obsessed with marriage. Or wedding. Ah, forgive me, it was probably not. It was probably only me who kind of obsessed with wedding - a decoration of marriage, I must say, but most importantly to tell people that me & a man who's name written on the invitation are legally connected & have rights to proliferate in advance - and used to make effort to attend a lot of wedding of my friends just because I love wedding. I love seeing the bride & the groom changing smile to each other all day long with those dreamy look in their eyes. I love seeing the parents all dressed up to celebrate their children's big day, with tears of joy & perhaps they screamed in their mind, like, "Finally!". I love the kids who played their role as "pager ayu", all dolled up in beautiful dresses and suites. I love the ijab-qobul happening followed by relieved sigh from the invitees. I love them all about wedding.
And today is mine. I am attending mine.
(Finally!)
The Day Of
"Saya terima nikahnya..."
Kalimat itu terngiang di telinga saya yang tepat berada di samping kiri laki-laki berjas hitam yang mengucapkannya dengan tegas dalam satu tarikan nafas di hadapan Bapak dan Pak Penghulu. Saya sendiri menahan nafas. Segera setelah laki-laki itu menyelesaikan kalimatnya, saya menghela nafas lega diiringi seruan "Sah!" dari para saksi. Kini laki-laki itu telah menjadi suami saya.
Dengan segera, untuk pertama kalinya, saya meraih dan mencium tangan kanannya sebagai tanda bakti pertama saya. Tangan kanan yang sebelumnya telah digunakannya untuk berjabat dengan Bapak, sang pemilik anak perempuannya ini, demi mengucap ikrar pernikahan yang menggetarkan arasy-Nya. Kini pemilik tangan itu adalah imam saya. Penanggung jawab saya dunia akhirat.
Alhamdulillah.
Lalu tibalah saat sungkeman. Sebuah momen yang paling bikin mengharu-biru. Saya anak perempuan satu-satunya, anak tengah, akhirnya menikah. Banyak hal yang saya tahu, saya membuat orang tua saya kecewa. Keras kepala dan menyebalkan, saya tahu. Menimpakan banyak kekecewaan hidup yang ditimbulkan orang lain akibat kesombongan diri kepada orang tua sendiri, saya tahu. Kemungkinan beratnya tanggung jawab Bapak di Akhirat, karena kelakuan anak perempuannya yang naif ini, saya tahu. Kini tanggung jawab itu telah berpindah melalui ijab-qobul. Tapi 27 tahun sebelum ini, bagaimana saya bisa meremehkan beratnya tugas Bapak juga Ibu?
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا
Ya. Dua momen di atas memang super super super berkesan buat saya. Oleh karenanya momen setelahnya, yang adalah salam-salaman di walimahan, tidak terlalu saya ambil pusing bagaimana riweuh dan capeknya.
Yang membuat saya sangat senang... banyak! Make up yang bagus, 'gak terlalu manglingi, baju yang bagus (I looked fat in that but who cares haha), dekorasi yang 'gak jelek, makanan yang enak, dokumentasi yang lumayan, juga yang 'gak kalah penting: my friends are there! Keluarga saya sedikit, sehingga kehadiran teman-teman dan orang kantor (hampir semua yang satu departemen hadir) sangat menggembirakan. Sempet sangsi karena lokasi pernikahannya jauh dari peradaban. Jadi saya udah nyiapin hati kalo aja gak semua yang saya undang bisa hadir. Tapi surprisingly mereka datang. Alhamdulillah.
Hasil karya Teh Elsa Novianti. IG @elsanovianti . |
Banyak orang yang nyinyir dengan pesta nikahan dengan mengatakan bahwa "persiapan nikahan berbulan-bulan, eksekusi beberapa jam dengan berdiri salam-salaman doang" itu mubazir. Katanya mendingan uangnya ditabung buat hal lain. Pesta nikahan cuma inisiasi saja. Setelahnya masih ada daftar panjang: rumah, keperluan hidup sehari-hari, biaya persalinan, biaya sekolah anak, biaya hanimun, etc. Hahah panjang lah kalau ditulisin. Bagi saya, itu tergantung cara kita memandangnya. Yang jelas, segala sesuatu yang berlebihan itu 'gak baik. Tapi lagi-lagi, "berlebihan" sendiri pun relatif bagi tiap orang. Sesuai kemampuan aja. Asal 'gak ngutang sana-sini buat bikin pesta yang mewah aja sudah syukur kalau bagi saya. Ah tapi masalah ngutang mah terserah ya. Semua orang punya pandangan dan prioritas masing-masing.
Apakah pernikahan saya mewah? Kalau dibandingin sama keluarga Tas*ya Fara*sya yang pestanya berhari-hari mah 'gak ada mewah-mewahnya lah hahaha. Akad dan walimah dibikin dalam satu hari: pagi akad, siang walimah. Jam 13.00 saja sudah selesai lho. Memang tamu juga tidak banyak. It's not a great - or perfect party, but we loved it. Mengapa kami bisa bilang gitu? Karena kami berusaha bersyukur dan memberi uzur. We finally have each other for the rest of our life (and we pray, till Jannah), what else do we want? We're very married!
(Jangan heran, kalau manten baru mah biasanya memang segini menye-menyenya *tutup muka *hehe).
EPILOGUE
Hari itu, setelah semuanya selesai, kami pulang ke rumah dengan badan patah-patah tapi bahagia. Satu tube Counter*pain sudah saya siapkan di kamar kami sebagai sambutan (haha). Kami tahu kami akan sangat membutuhkannya.
Heh, kami ternyata sudah menikah!
Biduk rumah tangga menanti di depan mata dan tugas kami adalah menyongsongnya dengan ikhlas mengharap ridho-Nya. Hujan dan badai bukannya tidak akan ada, namun kami harus sabar dan husnudzon akan ketetapan-Nya. Bahwa apapun yang terjadi adalah kehendak-Nya. Bahwa semua pasti baik menurut-Nya. Siapa yang menyangka, bahwa di antara sekian tahun kami hidup, di antara sekian manusia yang kami jumpai, ternyata kami bertemu dan menikah melalui perantara takdir-Nya? Ya. Semua dikembalikan kepada-Nya. Dan kini kami beribadah bersama di jalan-Nya.
"They (your wives) are a clothing (covering) for you and you too are a clothing (covering) for them." (Surah 2, Verse187)
*Ini adalah kisah sambungan dari "To Be Mr. Darcy's". Biar nyambung, yuk baca yang ini dulu hehe.
5. Adjusting, Adjusting, Adjusting6. Our DIY (Kind Of) Wedding Invitation
No comments:
Post a Comment
WOW Thank you!